Showing posts with label human. Show all posts
Showing posts with label human. Show all posts

Sunday, January 25, 2015

IMAGINE (John Lennon and Yoko Ono, May 1971)


(Tulisan Ioanes Rakhmat/ Link The Freethinker Blog)






Acapkali saya mendengarkan kembali madah hebat ini, dan memandang wajah John Lennon pada monitor komputer, hati saya selalu dipenuhi keharuan yang dalam sekaligus rasa pedih yang menggigit. Entah kenapa. Mungkin karena saya melihat dan saya tahu, apa yang didambakan John Lennon dalam lagu ini memang masih jauh dari kenyataan dunia masa kini.

Saya ingat betul, Imagine John Lennon pertama kali saya kupas waktu saya duduk di semester tiga di STT Jakarta, Indonesia, akhir tahun delapanpuluhan, pada kesempatan latihan berkhotbah dari mimbar di hadapan banyak mahasiswa dan para dosen yang hadir di kapel sekolah ini. Pada waktu itu, saya memperdengarkan dulu lagu ini lewat sebuah tape recorder, lalu membentangkan visi-visi John Lennon dan memperlihatkannya sebagai visi-visi agung yang sejalan dengan visi-visi kekristenan yang setidaknya saya hayati. Selesai acara ibadah di kapel ini, Pak Dr. Fridolin Ukur (alm.), dosen sejarah gereja, mendatangi saya dan berkata, “Humanisme adalah filosofi madah Imagine!” Sampai sekarang, ucapan beliau ini tetap lengket di benak saya. Kadangkala, saya merindukan beliau lagi, juga kini.

Oleh Rolling Stone, madah Imagine disebut sebagai “hadiah terbesar untuk dunia.” Pada tahun 2006, ex-president USA, Jimmy Carter, menyatakan bahwa “di banyak negara di seluruh dunia... anda mendengar madah John Lennon Imagine digunakan setara dengan madah-madah kebangsaan. Jadi, John Lennon memang memberi dampak besar pada negara-negara yang sedang berkembang di dunia ini.”/1/

Banyak orang beragama, saya tahu, tidak suka dan sinis terhadap Imagine John Lennon. Tidak sedikit dari mereka malah takut menyebut madah ini. Padahal, perdamaian dunia dan persaudaraan semesta (dll) yang menjadi visi John Lennon dalam lagu ini, bukankah mustinya juga menjadi visi umat-umat beragama? John Lennon membayangkan suatu dunia di mana agama-agama tidak lagi memisah-misah dan memecahbelah umat manusia. Inilah yang dia maksudkan ketika dia menyatakan “And no religion too”. Dalam kekristenan visi ini disebut sebagai visi ekumenis: bukan agama-agama, tetapi fakta bahwa kita mendiami satu Bumi yang sama, itulah yang harus mempersatukan kita! Tapi herannya orang Kristen umumnya juga sinis pada Imagine John Lennon. Saya suka membayangkan, seandainya Yesus masih ada sekarang ini, dia pasti akan menjadi seorang sahabat kental John Lennon. Saya tidak bisa membayangkan agama apapun yang diklaim sebagai agama cinta akan menolak humanisme John Lennon, dan juga pacifisme yang diyakininya.

John Lennon bukanlah seniman pertama yang menghendaki sorga dan neraka tidak ada, “No Heaven” dan “No Hell”. Menurut sebuah kisah, seorang sufi perempuan pertama, Rabia Al-Adawiyya (717-801 M), suka berlari-lari di jalan-jalan kota Basra sambil di satu tangannya menjinjing seember air dan di satu tangannya yang lain menggenggam sebuah obor bernyala. Ketika ditanya apa yang sedang dilakukannya, Rabia menjawab, “Aku mau menyiram api neraka sampai padam, dan membakar sorga (sampai jadi debu), karena baik api neraka maupun pahala sorga menghalangi jalan orang ke Tuhan. Aku tidak ingin beribadah karena takut ancaman api neraka atau karena teriming-imingi hadiah sorga. Bagiku, orang beribadah kepada Tuhan haruslah hanya karena cinta pada Tuhan.”/2/ 

Ya, jauh sebelum John Lennon, sufi terkenal Rabia sudah memperkenalkan sebuah konsep ibadah tanpa ancaman neraka dan tanpa pahala sorga. Sebuah agama tanpa neraka dan tanpa sorga, sebuah agama cinta. Kita tahu, konsep tentang sorga dan tentang neraka berandil besar dalam menciptakan ketegangan-ketegangan antaragama, karena masing-masing agama menawarkan hadiah sorga masing-masing dan mengancamkan api neraka masing-masing demi mendapatkan para pengikut baru di tengah lahan persaingan yang makin sempit. John Lennon dengan tepat telah melihat kondisi ini, dan menolaknya.

by John Lennon

Youtube http://youtu.be/GPeB6kGxWY0  
by Connie Talbot (then a little girl)
* Touching. Recommended!

Youtube http://youtu.be/4sXPkLfCzUQ 
by Connie Talbot with Kipper Eldridge

Lirik Inggris: 

Imagine there’s no heaven
It’s easy if you try
No hell below us
Above us only sky
Imagine all the people
Living for today

Imagine there’s no countries
It isn’t hard to do
Nothing to kill or die for
And no religion too
Imagine all the people
Living life in peace... uhuu

You may say I’m a dreamer
But I'm not the only one
I hope someday you’ll join us
And the world will be as one

Imagine no possessions
I wonder if you can
No need for greed or hunger
A brotherhood of man
Imagine all the people
Sharing all the world... uhuu

You may say I’m a dreamer
But I’m not the only one
I hope someday you’ll join us
And the world will live as one 


=============
/1/ Lihat Debbie Elliott, “Carter Helps Monitor Nicaragua Presidential Election”, NPR 5 November 2006, pada http://www.npr.org/templates/story/story.php?storyId=6439233.  

/2/ Dikisahkan oleh Farid ad-Din Attar (c. 1230), Memorial of the Friends of God: Lives and Sayings of Sufis (penerjemah Paul Losensky, ed., pengantar Th. Emil Homerin) (Paulist Press, 2009). Lihat juga Widad El Sakkakini, First Among Sufis: The Life and Thought of Rabia al-Adawiyya (penerjemah Nabil F. Safwat; pengantar Doris Lessing; editor Daphne Vanrenen (London: Octagon Press, 1982; reprint 1985), hlm. 3. 

Tuesday, December 16, 2014

Diaspora vs Illegal Imigrant in USA


Diaspora vs Illegal Imigrant in USA, sebuah perspektif!
 
By : Archer Clear


Ada sejuta alasan mengapa sebuah bangsa menjadi maju atau terbelakang. Bagi saya bangsa yang sanggup melakukan "Adaptasi" dan "Responsif" terhadap perubahan-perubahan zaman akan menjadi bangsa yang "Survive", sementara bangsa yang masih berpikir tertutup akan menghadapi kenyataan yang juga tertutup, ini membuktikan bahwa Sebagai bangsa Kitalah yang memilih untuk menjadi bangsa yang bagaimana, yang berpikir terbuka adaptable dan responsif atau menjadi bangsa yang tertutup dan terkurung dalam dogma dan ilusi selamanya! Ditangan manusia Indonesia bangsa ini akan bertumbuh, Diaspora atau appun namanya akan tidak bermakna apa-apa jika masih hidup dalam ruang berpikir tertutup! - Archer Clear
 
"Kami siap dan berkomitmen untuk mengembangkan kemitraan dan kerja sama yang dinamis untuk kesejahteraan bersama dengan Indonesia," - Kongres Diaspora"
 
Salah satu rekomendasi adalah menghimbau agar pemerintah akan mengizinkan adanya dual citizenship, atau kewarganegaraan ganda, supaya komunitas diaspora bisa tinggal dan hidup di luar negeri, tanpa harus melepas ke Indonesiaanya"
- Rekomendasi Kongres Diaspora
 
Kedua point yang direkomendasikan oleh Kongres diaspora yang berlangsung di LA bagi saya menyimpan begitu banyak pertanyaan.
 
Pertama Diaspora dalam pengertian yang sederhana adalah Manusia yang terpisah jauh dari tanah kelahiran atau tanah Leluhurnya, dan hidup menetap dan bekerja pada suatu wilayah tertentu. Alasan-alasan manusia melakukan migrasi dari tanah kelahirannya kesuatu wilayah tertentu umumnya adalah alasan-alasan Hidup, baik secara Politik, Ekonomi, budaya, maupun Pendidikan. Orientasi hidup yang lebih berkembang yang ingin dituju oleh Diaspora, saya kira itu salah satu alasan mengapa mereka meninggalkan tanah kelahirannya. Pertanyaannya, mengapa Diaspora itu menjadi pilihan yang rasional bagi kehidupan mereka?"
 
Kedua, Diaspora itu bukan sekedar hidup dibawah "Status" yang jelas, artinya memiliki kelengkapan dokumen untuk hidup dan menikmati akses kehidupan yang ditawarkan oleh sebuah wilayah atau negara. Misalkan diUSA, Diaspora yang dimaksud secara umum mungkin adalah mereka yang Lahir atau mendapatkan kesempatan untuk menjadi warga negara USA dengan berbagai Alasan. Contoh sederhana, jika anda ingin menjadi warga negara USA anda bisa menikah dengan warga negara USA kemudian melalui proses legal dalam waktu yang tidak terlalu lama anda akan mendapatkan Dokumen resmi sebagai warga Negara USA, dengan syarat-syarat tertentu yang berlaku dalam wilayah hukum USA.
 
Saya kira proses Diaspora itu memakan waktu interaksi yang tidak mudah, dan begitulah realitas yang dihadapi oleh Diaspora apapun yang hidup dan saya saksikan diUSA. Mereka walau sudah menjadi warga negara USA, tapi akan sulit melepaskan Identitas asli mereka yang itu build in didalam diri mereka sebagai manusia. Dan bagi saya Dokumen hanyalah sebuah Dokumen, yang berguna jika digunakan sesuai dengan peruntukannya.
 
Secara umum, Diaspora Indonesia yang hidup diUSA mungkin hanya dapat berbaur dengan sesama diaspora yang status kewarganegaraannya jelas, sementara diUSA bukan hanya warga negara indonesia yang sudah mengantongi kewarganegaraan resmi dari pemerintahan USA, tapi ada begitu banyak manusia Indonesia yang harus berjuang dengan caranya sendiri untuk "Survive" tanpa status kewarganegaraan yang resmi, artinya masih menjadi warga negara Indonesia dengan bukti Dokumen Pasport Indonesia. Apakah mereka masuk dalam kategori "DIASPORA" yang dimaksud dalam kongres Diaspora diLA?" I don't Know!
 
Saya kira, tanpa kewarganegaraan Ganda sekalipun para diaspora yang mengantongi Dokumen Resmi dapat berkunjung secara merdeka ketanah air, tidak ada masalah untuk itu. Karena esensi dari diaspora itu sendiri adalah sebuah Identitas personal kita, dan itu tidak akan hilang hanya karena kita berganti warga negara. Justru saya melihat sisi lain dari Diaspora yang perlu diekplorasi adalah bagaimana para Diaspora ini melihat kenyataan hidup diindonesia yang sangat berbeda seperti apa yang mereka lihat dan rasakan dinegara tempat mereka hidup, ide tentang hidup berdampingan secara damai itu bisa ditransfer, karena saya kira negara-negara tempat mereka hidup sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian, dimana dinegerinya sendiri nilai-nilai itu masih menjadi bahan pertentangan.
 
Lagi-lagi isue mendasar dan fundamentalnya adalah Konstitusi, para Diaspora bisa menikmati kebebasan hidup dalam kedamaiaan karena negara tempat mereka hidup sudah selesai dengan urusan-urusan pertentangan keyakinan, apalagi agama. Pemisahan antara wilayah negara dan agama sudah begitu jelas dan tegas, tidak ada lembaga-lembaga agama yang melakukan Intervensi dalam ruang-ruang negara, dan itulah yang membuat Komunitas Diaspora yang datang dari berbagai latar belakang negara dapat hidup berdampingan secara damai dibawah payung Konstitusi yang Rasional.
 
Berangkat dari pengalaman Real yang saya hadapi selama hidup diUSA, saya justru menemukan kenyataan bahwa mereka yang sudah mengantongi dokumen resmi pemerintahan USA, atau yang berstatus "Green Card" & "Permanen Resident" sulit untuk berbuat banyak atas Indonesia, artinya jika menjadi warga negara USA secara otomatis tunduk pada aturan-aturan hukum yang berlaku diUSA, misalkan dengan membayar pajak penghasilan secara rutin, dan menghabiskan semua energy untuk bekerja membangun USA.
 
Saya kira kontribusi Real dari masyarakat Indonesia yang sudah resmi itu direct langsung ke negara USA itu sendiri.Berbeda dengan warga negara Indonesia yang bekerja secara Illegal di USA, mereka justru tidak banyak menghabiskan hidupnya untuk hidup bermewah-mewah diUSA, yang saya tau waktu yang mereka habiskan adalah bekerja dari 10 jam hingga 14 jam Kerja sehari, mereka mengumpulkan hasil kerja mereka itu secara disiplin untuk kemudian dikembalikan KeIndonesia untuk mensupport kehidupan Keluarga mereka disana. Inilah perbedaan mencolok yang saya temukan antara warga negara Indonesia Resmi vs Warga negara Indonesia yang berstatus Illegal di USA.
 
Jika kongres Diaspora Indonesia yang menawarkan tag line yang besar seperti "expending connentions, multiplaying opportunities, sharing prosperity" ini benar-benar sesuai dengan semangatnya maka saya kira "Impact" yang dilahirkan akan jauh lebih besar dari tag line seperti yang saya sebutkan diatas. Mengapa, karena bagi saya Diaspora atau Illegal Imigran sekalipun punya perannya masing-masing dalam membangun Indonesia. Hanya yang menjadi pertanyaan besar saya adalah, bahwa Indonesia sebagai negara masih melihat manusia dalam kaca mata "KUDA", dimana status itu jauh lebih penting dari manusia itu sendiri.
 
Diskriminasi atas warga legal dan illegal di USA itu begitu nyata, dan itu menjadi salah satu alasan mengapa saya sangat sekeptic dengan Kongres Diaspora yang berlangsung diLA akan melahirkan Impact yang luas biasa, bisa jadi Kongres Diaspora itu lebih banyak bermuatan Politik Pragmatisnya dari pada berpikir lebih jauh bagaimana membangun Koneksi, Oportunities, and Prosperity yang berdiri diatas persaudaraan sejati sebagai bangsa, tidak ada lagi yang namanya diskriminasi hanya karena status legal dan illegal, semua manusia Indonesia bagi saya berdiri sejajar dimana pun dia berada, jika dia meminta dengan hormat bantuan Negara, maka sudah menjadi tugas negara untuk memfasilitas permintaan tersebut.
 
Untuk menutup tulisan singkat ini, saya ingin mengatakan bahwa bukan Diaspora atau apapun namanya yang akan sanggup membuka ruang-ruang kesempatan untuk pertumbuhan indonesia dimasa depan, tapi bagaimana membebaskan pikiran manusia-manusia Indonesia dari genggaman berpikir Ilusif Dogmatis dan mendorongnya untuk berpikir rasional yang full of common sense, dan saya kira inilah tantangan terbesar yang dihadapi oleh bangsa Indonesia secara Fundamental.
 
Free your mind and think!





Friday, November 14, 2014

Ekonomi Harus di Depan Politik

Ekonomi Harus di Depan Politik, Bukan Sebaliknya
Rhenald Kasali di artikelnya yang berjudul Penakut Tak Akan Pernah Melakukan Perubahan (Pointingonline.com), antara lain menulis:

Lima belas tahun yang lalu, salah seorang Emir terkemuka dari Uni Emirat Arab, Sheikh Muhammad Makhtum al Makhtum pernah berujar: “Ekonomi itu ibaratnya kuda, sedangkan politik adalah keretanya”. Baginya, Dubai menjadi besar karena ekonominya berada di depan politik. Di Indonesia kita justru menyaksikan pertunjukan sebaliknya, kuda di pacu agar bisa berlari kencang di taruh dibelakang kereta bak tukang sate mendorong gerobaknya. Alih-alih berlari cepat, kuda menjadi liar dan tabrak kanan – kiri. Ibarat kuda mabuk.
Kemudian, di sebuah artikelnya yang berjudul Bukan Singa yang Mengembik(Koran Sindo, Sabtu, 7 Juli 2014), Rhenald antara lain menulis:
Ekonomi, Bukan Politik
Kata Sheik Rashid, “Kami harus bekerja keras dan bekerja cepat. Supaya bisa bekerja cepat, kami harus bisa membangun sistem yang simpel dan berpikir simpel.” Itulah program transformasi yang diusung oleh para sheik tersebut. Dalam program transformasinya, Sheik Rashid mengedepankan ekonomi, bukan politik. Dia percaya bahwa untuk bisa berpolitik secara beradab, masyarakatnya harus sejahtera terlebih dulu. Bukan dibalik, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, politik harus berada di depan. Di UEA, kita bisa melihat hasilnya.
Dua puluh tahun setelah pertemuan tersebut, UEA–yang kini terdiri dari tujuh negara bagian–menjadi salah satu negara yang paling sejahtera di kawasan Timur Tengah. Ketika negaranegara lain di kawasan tersebut diguncang oleh gelombang Arab Spring, UEA tetap tenang karena rakyatnya sejahtera, sehingga mampu menghasilkan karya-karya yang monumental. Di antaranya Burj Khalifah, yang saat ini menjadi gedung tertinggi di dunia. UEA juga berhasil mentransformasi bisnis negaranya yang semula mengandalkan minyak dan gas menjadi lebih mengedepankan bisnis jasa.
Kini, bisnis wisata tumbuh subur di sana. Maskapai penerbangan mereka, Emirates Airlines, pada tahun 2013 menempati peringkat pertama The World The Worlds Best Airlines versi Syktrax. Padahal tahun sebelumnya masih menempati peringkat ke-8. Saat ini UEA juga tengah membangun mal terbesar di dunia, Mall of The World, yang luasnya mencapai 4,4 juta meter persegi. Para sheik itu adalah singa yang berada di kumpulan kambing jinak.
Tapi mereka tetap mengaum, bukan mengembik. Kita baru saja menjalani siklus lima tahunan dengan memilih pasangan presiden dan wakil presiden. Belum ada pemenang resmi. Meski begitu bolehlah sejak sekarang kita menaruh harapan, kelak pemimpin kita dapat menjadi singa-singa berhati mulia yang mampu membuat sejahtera negaranya. Bukan sebaliknya. Juga bukan keledai berbulu singa, atau singa yang mengembik.
Mungkin Mahfudz Sidiq dan Desmond J Mahesa belum membaca dan paham filosofi dari artikel-artikel Rhenald Kasali ini, sehingga sampai hari ini mereka masih saja berprinsip bahwa politiklah yang harus di depan ekonomi, bukan sebaliknya. Padahal fakta dunia sudah terlalu banyak membuktikan bahwa itu salah. Seharusnya: Ekonomilah yang di depan politik, bukan sebaliknya.
Singa yang disebut Rhenald Kasali di artikel itu maksudnya adalah orang yang harus mempunyai karakter seperti singa, yang selalu fokus, dan agresif dan mengejar mangsanya. Karena hanya berkarakter demikian setiap manusia akan selalu fokus, dan mati-matian dalam mengejar cita-citanya dan berupaya sekeras-kerasnya untuk keluar dari setiap masalah yang datang. Bukan seperti singa yang mengembik, yaitu mereka yang punya sebenarnya potensi untuk menjadi orang besar, tetapi hanya selalu mencari aman, selalu berkelompok di zona nyaman, saling melindungi satu dengan lain.
Sebab kalau disuruh Indonesia harus menjadi macan Asia, atau bahkan macan dunia, itu Jokowi tidak setuju. Menurutnya janganlah kita menjadi macan, karena akan membuat banyak orang yang takut dan menjauh dari kita. Tetapi yang benar adalah kita harus bisa menaklukkan macan itu, sehinga dia bisa menjadi sahabat dan mitra kita. ***




Wednesday, November 5, 2014

Desiderius Erasmus

id


Erasmus mempunyai hubungan yang ganjil dengan tanah kelahirannya. Beliau senang menyebut dirinya sebagai Desiderius Erasmus asal Rotterdam namun demikian beliau kerap mengkritik perilaku kasar dan selera yang buruk dari orang-orang Rotterdam dan warga Belanda.
Beliau lahir mungkin pada tahun 1469 sebagai anak tidak sah seorang pendeta. Hal ini berarti bahwa masa depan sebagai pendeta merupakan pilihan yang tak terelakkan baginya. Setelah menyelesaikan pendidikan, salahsatunya di seminari Persaudaraan Kehidupan Umum, beliau bergabung dengan biara Agustinus di Steyn dekat Gouda. Erasmus sangat terkesan dengan perpustakaan di biara tersebut dan menenggelamkan dirinya dengan menekuni buku-buku antik kesusastraan dunia melalui karya-karya klasik ternama dan karya-karya para humanis Italia. Kelompok yang terakhir, melalui pendekatan yang kritis dan penuh pembelajaran, seakan-akan menghadirkan masa lalu terasa begitu dekatnya.
Kehidupan biara dengan aturan dan tugas-tugas yang ketat terasa menyesakkan bagi Erasmus. Pengetahuan Erasmus yang luar biasa tentang Bahasa Latin memberinya kesempatan untuk meninggalkan biara. Beliau berkelana mengelilingi Eropa sebagai seorang cendekiawan mandiri, hidup dari penghasilannya sebagai penulis dan belas kasihan para pengagumnya yang semakin banyak.Erasmus memelihara hubungan dengan teman-temannya, para cendekiawan yang sependapat dengannya dan para pemberi informasi melalui jejaring korespondensi yang ekstensif.
Pada tahun 1500 beliau menulis Adagia, salah satu buku pertama yang paling laku di dunia, diuntungkan oleh adanya penemuan mesin cetak yang masih baru. Kumpulan tulisan klasik tersebut memberi pelajaran kilat pada para pembacanya tentang gaya hidup dan cara berpikir kaum humanis. Selain itu, Erasmus menerbitkan buku tentang etiket, panduan untuk para kepala negara, dan dialog serta brosur yang ditujukan untuk mendidik para bangsawan dan rakyat biasa agar menjadi penganut Kristen yang baik dan taat.

Holbein-erasmus.jpg

Erasmus menjadi orang pertama yang mengaplikasikan pendekatan kritis humanis dalam tulisan-tulisannya tentang agama Kristen. Beliau mempelajari Bahasa Yunani dengan tujuan spesifik agar mampu membaca tulisan-tulisan para pendiri Gereja dan teks Perjanjian Baru dalam bahasa aslinya. Hasil jerih payahnya membuahkan serangkaian pemikiran kritis terhadap tulisan-tulisan Kristen lama, termasuk edisi baru Perjanjian Baru dalam Bahasa Yunani dengan penerjemahan baru dalam Bahasa Latin. Melalui Novum Instrumentum ini, Erasmus secara sengaja mengambil jarak dari Vulgata (terjemahan resmi dari gereja) dan mempertahankan haknya untuk bersikap kritis terhadap Injil dengan tujuan memperkuat persepsi tentang keyakinan. Erasmus berharap bahwa pada suatu hari semua orang akan mampu menyitir Injil –petani di belakang bajaknya, penenun di belakang mesin tenunnya dan pengelana dalam pengembaraannya; beliau bahkan yakin bahwa kaum wanita pun seharusnya membaca Injil. Idealismenya adalah pencapaian kedamaian, pengabdian penuh yang berakar pada refleksi batin.
Saat terjadinya polarisasi yang dimulai tahun 1517 dengan reformasi agama oleh Martin Luther, Erasmus tidak mau menunjukkan keberpihakannya – atau mungkin tidak mempunyai nyali. Beliau tidak siap untuk berpisah dengan Gereja Katolik dan berharap bahwa perbedaan yang muncul dapat diatasi dengan alasan yang masuk akal. Sikapnya mengundang kritik dari kedua belah pihak. Erasmus meninggal dunia pada musim panas tahun 1536 di rumah seorang tukang cetak Froben, di Basel.

Monday, November 3, 2014

Feminisme dan feminis

Feminisme itu sebuah ideologi dan gerakan untuk menempatkan kedudukan perempuan setara dengan kedudukan pria, dan memperlihatkan kaum perempuan mampu hidup mandiri tanpa pria pendamping manapun.

Feminisme dapat dikata menemukan kembali harga diri dan kehormatan diri serta martabat dan harkat perempuan yang dalam sejarah panjang perkembangan peradaban manusia pernah diperlakukan sebagai insan rendahan, kelas dua atau kelas tiga dalam masyarakat patriarkal.

Jadi, feminisme itu sebetulnya gerakan dan paham yang bagus. Sangat demokratis dan humanitarian, karena memperjuangkan manusia perempuan untuk diterima setara dengan manusia lelaki dalam kedudukan dan peran mereka. Sebagaimana dalam setiap ideologi dan gerakan, dalam feminisme juga ditemukan berbagai aliran yang masing-masing menekankan segi-segi khusus gerakan, dan setiap aliran ini membentuk perilaku dan watak yang spesifik dari setiap feminis. 

Feminis adalah setiap orang, lelaki maupun perempuan, yang berkomitmen untuk merealisasi ideal-ideal dan tujuan-tujuan gerakan feminisme. Umumnya, yang biasa disebut feminis adalah kaum perempuan dalam gerakan feminisme.

Banyak feminis yang saya kenal berwatak ramah, elegan dan simpatik, sangat terbuka jika diajak berdiskusi hal apapun, termasuk jika yang mengajak orang lelaki yang sinis atau anti terhadap gerakan dan ideologi feminisme. Tidak sedikit di antara mereka adalah juga para ibu rumah tangga, selain banyak juga yang menjomblo. Feminis jenis ini melihat manusia lelaki dan manusia perempuan saling melengkapi dan harus bekerja sama untuk memajukan peradaban insani. Mereka tidak melihat dunia hitam atau putih yang terpisah dan terbelah. Perpaduan hitam dan putih, atau (memakai terminologi filsafat Timur) perpaduan dinamis Yin dan Yang, dilihat mereka sebagai sesuatu yang indah dan powerful.






Tetapi, dalam pengalaman saya, ada juga perempuan feminis yang berangasan, suka marah, dan terlalu percaya diri dan tertutup. Mereka yang tergolong feminis jenis ini sangat tidak suka bahkan sering berang dan emosional kalau dirinya dibicarakan dalam hubungan dengan kaum pria, termasuk jika prianya suaminya sendiri. Feminis jenis ini kerap kelihatan radikal dan penuh permusuhan terhadap dunia, yang dipersepsi mereka dengan keliru sebagai para penindas manusia perempuan. Feminis jenis ini umumnya memilih hidup tidak menikah seumur kehidupan mereka. Tetapi jika mereka menikah, mereka tidak mau direndengkan dengan suami mereka yang sah. Ini aneh, bukan?

Pengalaman pertama saya berjumpa dengan perempuan feminis pemberang terjadi di negeri Inggris. Ketika itu, saya ikut hadir dalam suatu acara gerakan feminis internasional, yang panitianya umumnya perempuan Inggris. Saya terlibat percakapan yang hangat dengan dua perempuan feminis saat itu. Mengasyikkan. Tetapi ketika saya bertanya kepada keduanya tentang bagaimana keadaan keluarga mereka, khususnya suami dan anak-anak mereka, dan bolehkah saya berkenalan dengan mereka, keduanya (saya sudah tahu mereka menikah) langsung berubah tidak ramah dan sekaligus berang. Saya kaget dan tidak paham. Langsung saya menghentikan percakapan.

Bagi kita sebagai orang Timur, adalah lazim dan baik jika kita bertanya tentang keadaan keluarga seseorang yang kebetulan kita jumpai, tanpa bermaksud mencampuri urusan rumah tangganya. Tetapi mungkin, hal ini dinilai tidak lazim dan terlalu rewel dan mau mencampuri urusan privat, oleh para perempuan Inggris yang feminis. Saya kadangkala ditanyai oleh para ibu dan para bapa yang kebetulan sudah lama tidak jumpa atau malah baru jumpa, bagaimana keadaan rumah tangga, dengan istri dan anak-anak, dengan pekerjaan, dengan kesehatan, dengan masa depan, dll. Saya malah senang ditanyai demikian. Bagi saya mereka ramah dan simpatik serta peduli. Jadi saya jawab dengan ringan dan happy, tanpa beban apapun.

Ternyata pengalaman pertama saya itu bukan yang terakhir. Saya menemukan makin jelas, memang ada banyak feminis yang memandang kehidupan mereka sebagai peperangan melawan dengan agresif struktur dan sistem yang mereka dengan sepihak nilai sebagai penindas perempuan, termasuk melawan orang-orang yang mendukung struktur dan sistem ini. Ideologi feminis mereka memang ideologi yang agresif dan ideologi kemarahan, alhasil mereka juga terbentuk sebagai pribadi-pribadi yang agresif dan suka berang.  

Apakah para feminis pemberang itu berwatak demikian hanya karena faktor-faktor bawaan lahir saja, sebagai perangai yang diwariskan, dan tidak ada hubungannya dengan ekologi sosial yang di dalamnya mereka hidup dan menerima ideologi feminisme aliran tertentu? Jawabannya sebenarnya sudah jelas. Selain faktor genetik (disebut juga faktor "nature"), watak dan kelakuan manusia juga dibentuk oleh faktor ekologi sosial dan ideologi-ideologi yang dianut dalam ekologi ini. Faktor kedua ini biasanya disebut sebagai faktor "nurture", atau dalam istilah genetikanya dinamakan faktor "epigenetik". Siapa diri kita, dibentuk oleh faktor genetik sekaligus oleh faktor epigenetik. Begitu juga halnya dengan watak dan kelakuan para feminis: watak dan kelakuan setiap feminis dibentuk selain oleh faktor genetik mereka, juga dibentuk oleh lingkungan sosial feminis yang di dalamnya mereka hidup dan oleh ideologi-ideologi feminis yang mereka yakini dan mereka jalankan. 

Jika anda feminis, termasuk jenis feminis apakah diri anda?

Apapun pilihan jenis feminisme anda, sebaiknya kita semua menyadari pentingnya feminisme berubah, dari gerakan kultural dan sosiopolitik yang penuh kemarahan (karena berakar pada sejarah yang penuh kepahitan), menjadi gerakan intelektual yang cerdas, kritis, jelas, ekspresif sekaligus santun, tenang, terpelajar dan bersahabat, sebagaimana patutnya sikap dan penampilan para intelektual. Jika perubahan ini terjadi, saya kira feminisme akan jauh lebih mudah dipahami, dimengerti dan diterima dalam masyarakat bahkan akan lebih kuat dan lebih luas didukung, termasuk dalam dunia Islam masa kini.
 



 
Design by Jery Tampubolon | Bloggerized by Jery - Rhainhart Tampubolon | Indonesian Humanis