Showing posts with label Sejarah. Show all posts
Showing posts with label Sejarah. Show all posts

Wednesday, October 7, 2015

Yahudi dan Israel


Akhmad Sahal 

Kisah kelahiran zionisme pada dasarnya adalah kisah tentang cinta kaum Yahudi terhadap Eropa modern yang bertepuk sebelah tangan. Pendiri utama gerakan ini, Theodor Herzl (1860-1904), wartawan Yahudi kelahiran Hungaria, pada awalnya adalah pemeluk teguh asimilasi, pembauran Yahudi ke dalam masyarakat Eropa modern. Sampai suatu ketika ia merasa Eropa sejatinya menampik cintanya. Herzl, meyakini, sebagaimana sebagian besar Yahudi Eropa saat itu, bahwa satu-satunya jalan menuju emansipasi buat Yahudi, pembebasan dari diskrimnasi dan keterkungkungannya dalam kehidupan ghetto, adalah dengan mengadopsi semangat Pencerahan dan the idea of progress yang dilantunkan oleh modernitas. 

Caranya dengan mengikuti seruan Napoleon Bonaparte. Penaklukan Napoleon di pelbagai penjuru Eropa pada abad 18 membantu penyebaran ide-ide Revolusi Perancis yang didasarkan pada proyek Pencerahan, terutama tentang kesetaraan “Hak-Hak Manusia dan Warga Negara." Pertanyaan Napoleon kepada komunitas Yahudi di Eropa Barat saat itu, jika mereka mendapatkan hak-hak hukum dan politik yang setara dengan warga Kristen dan sekular, apakah mereka bersedia keluar dari ghettonya yang eksklusif dan melepaskan identitas primordial keYahudian untuk menjadi individu-individu modern? Bisakah mereka melepaskan diri dari loyalitas mereka kepada otoritas rabbi dan sepenuhnya loyal kepada negara Perancis yang sekular? 

Dengan tawarannya itu, Napoleon mungkin saja punya maksud melenyapkan identitas keYahudian dengan cara melebur mereka ke dalam masyarakat Eropa entah dengan menjadi sepenuhnya sekular atau berkonversi ke Kristen. Akan tetapi, respon kaum Yahudi justru sangat antusias. Buat mereka, Napoleon telah membuka jalan bagi emansipasi untuk kaum Yahudi. Mereka meyakini Pencerahan bukan hanya tidak bertentangan dengan keYahudian, melainkan justru menguntungkan Semboyan mereka yang terkenal: lihyot yahudi ba bait, wa adam ba khutz (menjadi Yahudi di rumah dan manusia di luar). 

Kaum Yahudi di Perancis, misalnya, memberikan justifikasi peleburan identitas keYahudian dan kePerancisan dengan melihat Revolusi Perancis 1789 sebagai peristiwa mesianik dalam sejarah Yahudi modern, dengan menganggap liberte, egalite, fraternitesebagai hukum Sinai kedua. Mereka mendefinisikan diri mereka sebagai “Israelites de France.” Hal yang sama juga terjadi di Jerman, tempat di mana gerakan Pencerahan Yahudi (Haskalah) yang dipelopori oleh Moses Mandelssohn justru tumbuh dengan subur. 

Para penggerak Reform Judaism di Jerman yang berupaya memposisikan agama Yahudi sebagai kredo etika universal begitu loyal terhadap tanah kelahirannya dan menyebut Berlin sebagai Jerusalem baru, “tanah air tempat di mana kita menautkan diri dengan ikatan cinta yang keras kepala.” Ungkapan doa yang diwariskan turun temurun, l'shana habaa b'Yerushalaim (tahun mendatang di Yerusalem) dilihat hanya sebagai bagian dari ungkapan ritual yang sama sekali tidak memuat program politik untuk memulihkan kembali tatanan politik di Yerusalem. 

Dengan menjadi pemeluk teguh ide-ide Pencerahan seperti individualisme, rasionalisme dan sekularisme, mereka yakin bisa “persoalan Yahudi” yang mendera mereka mereka selama ratusan tahun hidup dalam diaspora di Eropa akan bsia dipecahkan secara tuntas. Kini identitas keyahudian tidak lagi mereka definisikan dalam kerangka tradisional, yakni berdasar pada kepatuhan kepada halakhah (hukum Yahudi), melainkan berdasarkan Pencerahan, yakni sebagai individu dengan kebebasan dan kekhasannya sendiri. 

Demikianlah, Theodor Herzl menyokong penuh integrasi Yahudi ke dalam masyarakat Eropa. Sampai kasus Dreyfus mencuat pada 1882. Sebagai koresponden koran Wina, Neue Freie Presse, di Paris, Herzl meliput kasus Dreyfus (Dreyfus affair). Afred Dreyfus, kapten berdarah Yahudi yang sepenuhnya asimilasionis, dituduh oleh publik Perancis menjadi mata-mata bagi Jerman dan kemudian dipecat secara tidak hormat dari dinas militer Perancis. Tuduhan itu berdasarkan anggapan bahwa meskipun sudah sepenuhnya menjadi warga negara Perancis, Dreyfus betapapun adalah seorang Yahudi, yang tak mungkin loyal terhadap negaranya. 

Yang membuat Herzl masygul, kasus Dreyfus justru terjadi di Paris, tempat lahirnya Pencerahan. Lagipula, ttidak lama sebelum itu, yakni pada 1871, progrom dan persekusi terhadap Yahudi dalam skala masif terjadi di Rusia. 

Kasus ini membuat Herzl berkesimpulan, meskipun bangsanya sudah tolah dalam upayanya untuk ter-Eropa-kan, mereka tetap saja menjadi target kebencian antisemit oleh masyarakat Eropa, yang notabene sudah termodernkan. Atas dasar itulah Herzl lalu menegaskan bahwa "persoalan Yahudi" di Eropa bukanlah persoalan kultural, misalnya karena faktor prasangka atau kesalahpahaman masyarakat Kristen Eropa, yang bisa diatasi dengan pengetahuan rasional. 

Selain itu, Pencerahan ternyata juga melahirkan problem baru buat kaum Yahudi. Karena, selain melahirkan individualisme, ia juga memunculkan ide tentang nasionalisme modern. Tapi di situlah letak masalahnya. Ketika orang-orang Yahudi di pelbagai negara Eropa bertransformasi menjadi individu-individu modern dengan identitas berdasarkan ide-ide kosmopolitan dan universal dari Pencerahan, masyarakat Eropa justru sibuk membangun nation-statenya sendiri-sendiri. Meskipun orang Yahudi sudah berusaha sepenuh hati menjadi bagian dari Eropa, ia tetaplah the other, sang liyan di mata publik Kristen Eropa. 

Dalam karya masyhurnya yang terbit pada 1896, Der Judenstaat (Negara Yahudi), Herzl menyatakan bahwa akar masalahnya yahudi terletak pada kehidupan diaspora Yahudi itu sendiri: kaum Yahudi hidup terpencar--pencar di pelbagai belahan dunia, tanpa punya negara yang menjadi “rumah” mereka sendiri. Diaspora yang sudah berlangsung ratusan tahun ini, menurut Herzl, mengindikasikan bahwa Yahudi terus hidup dalam apa yang ia sebut sebagai "abnormalitas." Kondisi abnormal inilah yang menyebabkan mereka rentan terhadap serangan antisemitisme, bahkan pada masa modern sekalipun. 

Bagi Herzl, solusi untuk melenyapkan antisemitisme tidak bisa lain adalah dengan menyudahi abnormalitas kehidupan diaspora tersebut melalui proses normalisasi kehidupan bangsa Yahudi. Caranya dengan keluar dari Eropa dan mendirikan negaranya sendiri. 

Menarik untuk dicatat, terdapat perbedaan pendapat di kalangan Zionis sendiri mengenai solusi Herzl: apakah yang ia maksud adalah membangun "negara Yahudi" sebagaimana umum dipahami, atau "negara untuk orang Yahudi." Perbedaan pandangan ini menyangkut buku Herzl sendiri, Der Judenstaat, yang memang lebih tepat diartikan "negara untuk orang Yahudi." Pada yang pertama, negara yang dimaksud haruslah berkarakter yahudi dan berlokasi di Palestina. Sedangkan pada yang kedua, negara yang dibayangkan Herzl tidak mesti berkarakter Yahudi dan tidak mesti berlokasi di Palestina. Itulah sebabnya ia setuju dengan tawaran pemerintah kolonial Inggris pada awal abad 20 untuk menjadikan Uganda sebagai tempat bagi negara Zionis (tapi tawaran ini ditolak mentah2 oleh kalangan Zionis yang lain). 

Lepas dari itu, bisa kita simpulkan bahwa Zionisme bertolak dari kehendak Yahudi untuk melakukan negasi terhadap diaspora (shelilat hagalut), karena kehidupan diaspora dianggap abnormal. Zionisme adalah upaya menormalkan kehidupan bangsa Yahudi agar menjadi bangsa normal, yakni bangsa yang punya negaranya sendiri sebagaimana bangsa-bangsa lain. (Dalam arti tertentu, normalisasi bangsa Yahudi yang mendasari Zionisme adalah pemberontakan terhadap anggapan bangsa Yahudi sebagai bangsa terpilih, kaeran Zionisme justru menghendaki bangsa Yahudi sebagai bangsa biasa sebagaimana bangsa-bangsa lain) 

Penentangan dari Kiri dan Kanan 

Tapi betulkah asimilasi Yahudi adalah ihtiar yang sias-sia buat kaum Yahudi? Betulkah diaspora merupakan kehidupan abnormal buat Yahudi? 

Amos Elon, sejarawan Israel yang melacak kiprah Yahudi di Jerman dari awal abad 18 sampai naiknya Hitler pada 1933 dalam bukunya, The Pity of it All, dengan tegas membantah klaim Herzl tersebut. Menurut Elon, masyarakat Yahudi Jerman sam sekali tidak menganggap diri mereka sebagai imigran atau tamu di negeri asing. Bahkan, emansipasi politik yang mereka nikmati sebagai buah dari Pencerahan menghasilkan lonjakan prestasi yang mencengangkan dalam ranah budaya, sains, seni, dan jurnalisme. Kerekatan antara identitas Yahudi dan Jerman ini baru putus setelah Hitler berkuasa pada 1933. 

Dengan kata lain, tidak semua kalangan yahudi setuju dengan asumsi Zionisme tersebut. Dan mereka yang menampiknya berasal dari kiri maupun kanan, sosialis maupun liberal. 

Tokoh dan pemikir sosialisme berdarah Yahudi seperti Rosa Luxemburg dan Leon Trotsky, misalnya, mengakui bahwa kebencian dan serangan berwatak antisemit memang nyata-nyata ada. Akan tetapi mereka menolak solusi zionis untuk mengatasi antisemitisme, yaitu dengan mendirikan negara Yahudi di Eretz Yisrael. Alasannnya, hal ini justru membawa Yahudi kembali terjebak dalam nasionalisme etnis yang sempit, yang nyaris tidak ada bedanya dengan ghetto-ghetto yang mereka huni sebelum era Pencerahan. 

Bagi Luxemburg, derita Yahudi dalam diaspora tidak semestinya membuat mereka hanya berjuang untuk kelompoknya saja, menjadi parokial dan eksklusif, melainkan justru mesti me-universalisasi-kan perjuangannya sehingga mencakup kelompok lain yang tersisihkan dan tertindas di manapun di dunia. Simak ungkapan terkenal Rosa Luxemburg ini: 

"Why do you pester me with Jewish troubles? I feel closer to the wretched victims of the rubber plantations of Putumavoor Negroes in Africa...I have no separate corner in my heart for the ghetto." 

Kalangan Yahudi sosialis menyerukan agar perjuangan melawan antisemitisme diintegrasikan dengan perjuangan kaum proletar melawan kapitalisme karena di mata mereka, persoalan Yahudi bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan suatu gejala sosial yang terkait erat dengan kapitalisme. Begitu kapitalisme runtuh dan sosialisme berdiri, antisemitisme akan hilang dengan sendirinya. 

Pada tingkat tertentu, argumen kaum sosialis ini bertolak dari esai Karl Marx tentang persoalan Yahudi, Zur Judenfrage yang ia tulis hampir setengah abad sebelum zionisme lahir, yakni pada 1843. Dalam esai tersebut, Marx sebenarnya menolak pandangan asimilasionis Bruno Bauer yang berpendapat, emansipasi kaum Yahudi baru bisa tercapai kalau mereka menanggalkan identitas keagamaannya yang partikular dan menerima prinsip-prinsip liberalisme: mejadi individu yang otonom dan mengakui legitimasi negara sekuler. 

Dalam pandangan Marx, emansipasi semacam ini adalah emansipasi semu, karena hanya terjadi pada ranah suprastruktur, hanya emansipasi legal dan politik, bukan emansipasi kemanusiaan secara utuh. Menurut Marx, kaum Yahudi baru mengalami emansipasi kalau mereka dibebaskan dari apa yang oleh Marx disebut sebagai “Judaisme praktis,” yakni kepentingan-diri, huckstering, dan uang. Dengan kata lain, kapitalisme. Tulis Marx, “emansipasi Yahudi adalah emansipasi seluruh masyarakat dari Judaisme.” Selain dari sayap kiri, penolakan terhadap zionisme juga disuarakan oleh kaum Yahudi liberal, seperti filosof Hermann Cohen dan Karl Popper. Hermann Cohen (1842-1918), misalnya, adalah seorang filosof Yahudi Jerman yang secara sistematis merumuskan agama Yahudi sebagai agama akal, sebagai monoteisme murni dalam bentuk hukum-hukum moral yang universal.

Di sini pengaruh konsep kategori imperatif dan otonomi moral Immanuel Kant kuat terasa. Tapi Cohen menolak klaim Kant bahwa agama Yahudi tidak bisa menjadi dasar bagi moralitas universal hanya karena dia bersumber dari luar manusia (heteronom). Menurut Cohen, justru posisi agama Yahudi sebagai monoteisme murni sejalan dengan universalisme Kantian. 

Cohen menafsirkan keterpilihan bangsa Yahudi sebagai tugas ketimbang privilese, yakni tugas untuk merealisasikan kenyataan mesianik, yakni kehidupan berbasis perdamaian dan kemanusiaan. Cohen melihat sejarah agama Yahudi sebagai proses “spiritualisasi” yang bergerak dari partikularisme ke universalisme. Hancurnya kedualatan politik Yahudi, kondisinya sebagai wandering Jews yang tak bernegara dan tak berumah menunjukkan bahwa identitas keyahudian bukanlah dimaksudkan sebagai identitas eksklusif untuk etnik tertentu saja, melainkan sebagai etika universal. Atas dasar itulah Cohen menolak zionisme. 

Sementara itu,Karl Popper, filosof liberal berdarah Yahudi yang terkenal dengan bukunya The Open Societies and Its Enemies, menolak nasionalisme etnis yang menjadi dasar zionisme, yang menurutnya bertentangan dengan prinsip-prinsip masyarakat terbuka yang kosmopolitan. Popper mengakui kegagalan asimilasi Yahudi di Eropa yang berpuncak pada tragedi Holocaust. Akan tetapi baginya, kegagalan itu mestinya membawa kaum Yahudi untuk melampaui identitas kebangsaan yang partikular dan bersandar pada identitas kosmopolitan. 

Memang tidak semua kaum Yahudi liberal atau sosialis serta merta menganut kosmopolitanisme dan menolak zionisme. Harap diingat, sebagian founding fathers negara Israel adalah juga penganut sosialisme yang ingin merealisasikan prinsip-prinsip sosialisme dan mengkombinasikannya dengan mesianisme sekular seperti tercermin dalam kibbutzim. Sementara pemikir liberal semacam Isaiah Berlin mendukung zionisme bukan atas dasar menegasikan diaspora Yahudi atau menghentikan antisemitisme seperti dikemukakan Herzl, melainkan karena bagi Berlin, realisasi kebebasan mengandaikan adanya “rumah” sebagai tempat berpijak. (Menurut saya, argumen ini mestinya berlaku tidak hanya untuk bangsa Yahudi melainkan juga bangsa Palestina). 

Zionisme Politik VS Zionisme Kultural 

Pengkubuan/perselisihan yang terjadi di kalangan Yahudi dalam kaiatannya dengan zionisme tidak hanya terjadi antara kaum zionis dan para penentangnya. Bahkan di kalangan zionise sendiri terjadi pertentangan yang tajam antara mereka yang mengedepankan pendekatan politik dan yang memilih jalur kultural. Yang pertama dan lebih dominan bisa kita lihat pada Theodor Herzl, dan versi ekstrimnya pada Vladimir Jabotinsky, ideololog partai Likud. Sedangkan yang kedua diwakili oleh Ahad Haam dan Martin Buber. 

Seperti sudah disinggung di atas, persoalan Yahudi muncul karena bangsa Yahudi hidup secara abnormal. Zionisme bagi Herzl tidak lain adalah proyek menormalkan kehidupan mereka dengan cara mengumpulkannya dalam satu ikatan kebangsaan (ingathering of the exiles). Misi ini tidak akan tercapai kecuali dengan mendirikan negara Yahudi. Dengan cara itulah zionisme hendak menciptakan “Yahudi baru,” yakni Yahudi yang hidup normal seperti bangsa-bangsa lain. Tidak heran kalau kemudian kaum zionis mazhab ini begitu terobsesi dengan otot dan kejantanan, yang oleh karib Herzl bernama Max Nordau disebut sebagai Jewry of muscle. 

Tapi pada saat yang sama, Herzl juga melihat zionisme sebagai proyek pemberadaban yang mengemban mission civilicatrice. Ini terlukis dalam novel utopianya,The Old-New Land (1902). Novel ini berkisah tentang Friedrich Loewenberg, Yahudi asal Wina yang melancong ke Macedonia dan mampir ke Yerusalem. Di sana ia menemukan betapa Yerusalem adalah tanah yang tandus tak terurus, dengan perkampungan Arab yang kumal. Namun betapa takjub Loewenberg ketika ia singgah sekian puluh tahun lagi, karena Yerusalem berhasil disulap oleh kaum zionis sebagai metropolitan yang bersih, dan makmur. Yang ada di benak Herzl, negara Israel akan menjadi seperti Swis. Israel, kata Herzl, akan menjadi “bagian dari benteng Eropa berhadapan dengan Asia, markas peradaban Barat untuk menangkal barbarisme Timur. 

Di tanah yang baru ini, masih menurut Herzl, Yahudi tidak lagi menjadi target serangan antisemitisme seperti terjadi di Eropa, di mana Yahudi ditampilkan sebagai sosok yang “kotor, licik, parasit, lembek.” Karena “Yahudi baru” ini tampil sebagai sosok yang “rasional, kuat, beradab.” 

Dengan kata lain, di Eropa, Yahudi diperlakukan sebagai “yang lain.” Namun di tanah Israel, Yahudi bermetamorfosis menjadi Eropa yang memosisikan Arab sebagai sebagai “yang lain.” Untuk menghapus identitas ke-“yang lain” annya di Eropa, Yahudi eskit dari Eropa. Di luar Eropa is menjadi Eropa. Jika di “Barat” Yahudi adalah “Timur,” maka di Timur ia menjadi “Barat.” 

Dua unsur utama zionisme politik ini (pemujaan terhadap supremasi kekuatan fisik dan persepsi diri sebagai pembawa peradaban Barat) pada akhirnya menjelaskan kenapa bangsa Arab/Palestina sama sekali tak muncul dalam narasi zionisme? Lihat saja semboyan mereka tentang Palestina, “tanah tanpa bangsa untuk bangsa tanpa tanah.” Atau simak ungkapan Golda Meir, mantan perdana mentri Israel, “tidak ada yang namanya rakyat palestina.” Di sinilah letak ironi zionisme: ia lahir sebagai respon terhadap “persoalan Yahudi” di Eropa, tetapi ia memunculkan “persoalan Arab, ” atau meminjam judul buku Edward Said, the question of Palestine. 
Berbeda halnya dengan zionisme kultural yang dipelopori oleh Ahad Haam, tokoh zionis asal Rusia yang hidup semasa dengan Herzl. Ahad Haam mengartikan upaya kembali ke tanah zion lebih dalam kerangka spiritual dan bukan politik, yakni sebagai manifestasi dari renaisans kultural Yahudi. Di mata Haam, pertautan bangsa Yahudi dengan Zion sesungguhnya berada pada level moral dan spiritual, sebagai jalan untuk merealisasikan nilai utama keyahudian, yakni Tikkun Olam (memperbaiki dunia). Inilah yang menjelaskan kenapa sejak awal Haam bersebarangan dengan Herzl. Bahkan dalam Kongres Zionis pertama pada 1898 mereka berdua tidak saling menyapa. 

Sejalan dengan Haam, Martin Buber juga menolak zionisme politik Herzl dan Nordau. Penolakan Buber bertolak dari penghargaannya terhadap eksistensi bangsa Arab di Palestina dan hasratnya menjalin relasi yang otentik dengan mereka, dalam kerangka relasi I-Thou. Bagi Buber, berdirinya negara Israel tidak akan menyelesaikan persoalan Yahudi manakala kaum Yahudi mengabaikan fakta bahwa tanah Israel pada dasarnya milik dua bangsa, masing-masing dengan klaimnya sendiri. Negara yang berdiri di atsa tanah tersebut mestilah berbentuk negara dwi-bangsa, bukan negara Yahudi. Atas dasar itulah Buber menentang The Law of Return dan upaya pemerintah Israel untuk mendatangkan imigran Yahudi secara besar-besaran untuk mencapai status mayoritas. 

Dengan paparan di atas, saya mencoba menunjukkan betapa pro daa kontra di kalangan Yahudi terhadap Zionisme ternyata berlangsung dengan tajam dan tak jarang saling menafikan satu sama lain. Bahkan di kalangan internal kubu Zionis, pertentangannya juga sangat keras. Setidaknya itu terjadi sampai akhir 1940an, ketika akhirnya negara Israel berdiri pada 1948. 

Tapi seperti apa pertengkaran internal di kalangan Yahudi mengenai zionisme setelah negara Israel berdiri? Dan bagaimana setelah Israel menang telak atas negara2 Arab pada Perang Enam Hari pada 1967?

Friday, November 14, 2014

The Look Of Silence

'The Look of Silence': The film making Indonesia face its brutal history


By Dean Irvine, CNN

Skewed view:
Skewed view: "The Look of Silence" examines the little spoken of massacres that took place in Indonesia in 1965 and 1966


(CNN) -- The Graha Bhakti Budaya (or GBB as it's locally known), is a care-worn, 1960s slab of a building, popular as part of Jakarta's largest arts center, but outwardly unremarkable.
Yet what happened inside on Monday, the Indonesian premiere of documentary "The Look of Silence", has for some made it more than a theater space and transformed it into a site of huge importance for the development of Indonesia's democracy.
"That screening on Monday night was a big, big moment," says 54-year-old Irawan Karseno. "There are deep wounds in our nation since 1965 and this movie is like a healing process."
As head of the Jakarta Arts Council, Karseno was instrumental in bringing the film, Joshua Oppenheimer's companion piece to last year's Oscar-nominated "The Act of Killing", to a captivated audience of around 1,500 people.

Oppenheimer's 2012 film helped open up public discussion about a troubling and little-spoken of period in Indonesia's recent history: human rights groups estimate between 500,000 to 1 million Indonesians were killed by military death squads during anti-communist purges in 1965 and 1966 that helped cement the "New Order" regime of General Suharto.
While "The Act of Killing" told the story from the killers' side, "The Look of Silence" takes an unflinching look at the situation from the viewpoint of the survivors. The film's protagonist is Adi, a 45-year-old optometrist, who tries to understand why his parents remain so 
Adi studies Joshua Oppenheimer's footage of perpetrators of the 1965 Indonesian genocide. Photo: Courtesy Lars Skree/Final Cut for Real











deeply traumatized by his brother Ramli's murder in 1965, and the culture of fear and lies he believes pervades his community and country.
Adi's unflinching gaze when he confronts members of the militia involved in his brother's brutal death is juxtaposed with the attitude of perpetrators and survivors in the film, and many Indonesians as a whole, who prefer to say the "past is the past".
"But the younger generation are more open-minded," says Karseno. "I was only five years old when these events happened and I'm still ashamed by them.
"Next year is 50 years since (the killings of) 1965. How can we prepare for next year? How can we see the events more sensitively? I hope it can be like when Germany came to terms with the holocaust and they had a healing process with each other."

There are deep wounds in our nation since 1965 and this movie is like a healing process.
Irawan Karseno, Jakarta Arts Council

After a multi-year investigation, the country's National Commission on Human Rights in 2012 declared the massacre a gross violation of human rights. Yet Indonesia is still a distance from any official truth and reconciliation process. No one has been brought to trial for the alleged crimes. The Attorney General's office has not yet replied to CNN's requests for comment.
Many survivors' families across Indonesia still live in fear of reprisals if they should speak openly against those responsible for the crimes.
During filming Oppenheimer made sure precautions were taken should things take a turn for the worse; a getaway car was on hand, no-one carried ID, phones were data-free and in some cases Adi's family were on standby at the airport to leave at a moment's notice.

Adi confronts a high-ranking death squad commander and present-day paramilitary leader. Photo: Courtesy Lars Skree/Final Cut for Real


"It's a terrible situation that Adi and his family had to move away like fugitives (after the film was made), especially when he was just trying to create the conditions for forgiveness," says Oppenheimer.
"But it shows just how far Indonesia has to go before it can be called a genuine democracy with rule of law and that because of the impunity the perpetrators and gangsters have Adi's family has to run away, when they've done only the most beautiful and dignified thing."
For Oppenheimer, Monday's premier was the most important screening of either "The Act of Killing" or "The Look of Silence" (which has appeared at a number of international film festivals), as it was hosted by Indonesian government agencies-- the Jakarta Arts Council and the National Human Rights Commission.

It shows just how far Indonesia has to go before it can be called a genuine democracy with rule of law. 
Joshua Oppenheimer, director, The Look of Silence

While "The Act of Killing" first had to be shown at private screenings, even public showings initially had to have heavy security, "The Look of Silence" premier was publicly announced, proving to Oppenheimer, that a space is opening up for the country to continue to heal.
In December community screenings will take place across Indonesia, and Karseno, encouraged by the recent election of Joko Widodo as president, feels optimistic that the country can get over its "mental block."
"We are pushing hard for Jokowi (Joko Widodo) to see the film," says Karseno.
"We have a problem in our culture. It's not just about 1960s for us, but how we as a country are connected to the rest of the world."
According to Karseno the atmosphere on Monday was only tense with expectation rather than from any safety worries, and two screenings had be shown as twice as many people turned up as could be accommodated by the auditorium.
Adi was one of those present at the premier.
"After watching the film and seeing the victims I felt sad," says Karseno. "I then met Adi and I just cried."

Monday, November 10, 2014

Soekarno vs Tan Malaka (Meluruskan Sejarah Mengenai Romusha)

       



Headline


Bayah menjadi tempat berkumpul romusha dan pegawai pertambangan sejak Jepang mengeksploitasi tambang batu bara pada 1 April 1943. Pada awal penambangan, sekitar 20 ribu orang datang dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di kawasan pesisir selatan inilah Ibrahim Datuk Tan Malaka singgah dan bekerja sebagai juru tulis.

Bayah dengan luas sekitar 15 ribu hektare menjadi satu-satunya tempat yang mengandung batu bara di Pulau Jawa sebelum Jepang datang. Belanda telah memberikan izin membuka tambang kepada perusahaan swasta sejak 1903, tapi belum mengeksploitasinya.

Sebelum 1942, kebutuhan batu bara di Jawa dipasok dari Sumatera dan Kalimantan. Namun angkutan pelayaran Jepang banyak terpakai oleh kepentingan perang. Jepang ingin Jawa mandiri dalam memenuhi kebutuhan batu bara.

Jepang membuka tambang lewat perusahaan Sumitomo. Mereka membuka jalur kereta api dari Saketi, Pandeglang, menuju Bayah—sekitar 90 kilometer. Dari Bayah, kereta bersambung menuju ke lokasi penambangan seperti Gunung Madur, Tumang, dan Cihara. Kini beberapa lokasi masih ditambang penduduk, sedangkan yang lain terbengkalai begitu saja.

Tan Malaka datang ke Bayah pada Juni 1943. Dia dikenal masyarakat Bayah dengan nama samaran Ilyas Hussein. Parino lamat-lamat mengingat nama Hussein sebagai seorang kerani atau juru tulis. ”Kalau enggak salah, orangnya sangat pintar,” kata Parino.

Tan bekerja di Bayah setelah melamar ke kantor Sosial. Dia butuh penghasilan sekaligus tempat bersembunyi. Waktu itu, perusahaan di Bayah membutuhkan 30 pekerja—bukan romusha. Tan melamar tanpa ijazah. Dia mengaku bersekolah di MULO (setara dengan sekolah menengah pertama) dua tahun dan pernah menjadi juru tulis di Singapura. Tan lulus dengan menyisihkan 50 pelamar.

Tan berangkat dengan kereta api dari Tanah Abang, berakhir di Stasiun Saketi. Saat itu kereta rute Saketi-Bayah belum beroperasi. Dia lalu meneruskan perjalanan dengan truk.

Sesampai di Bayah, Tan indekos di rumah warga, sebelum menghuni gubuk kecil dari bambu. Dia selalu memakai celana pendek, kemeja dengan leher terbuka, kaus panjang, helm tropis, dan tongkat. Dia berbicara dengan bahasa Indonesia, tapi jarang tampil di depan umum.

Tan sering menjelajahi pelosok, termasuk Pulo Manuk, enam kilometer dari Bayah. Tempat itu paling ditakuti, termasuk oleh tentara Jepang, karena penyakit kudis, disentri, dan malaria mewabah di sana. Waktu itu, penyakit dan kelaparan menjadi faktor utama kematian romusha di Bayah.

Suatu saat, Tan pernah diminta mengurusi data pekerja. Dia sering berhubungan dengan romusha dan mencatat jumlah kematian mereka. Dalam memoarnya, Tan mencatat 400-500 romusha meninggal setiap bulan. Hingga akhir pendudukan Jepang, luas tempat pemakaman romusha mencapai 38 hektare.

Keluar-masuk terowongan dan memberikan nasihat pentingnya kesehatan, Tan dikenal sebagai kerani yang baik hati. Dia suka membelikan makanan buat romusha dari upahnya sendiri. ”Kita dapat mempraktekkan rasa tanggung jawab terhadap golongan bangsa Indonesia yang menjadi korban militerisme Jepang,” kata Tan suatu ketika.

Nasib para romusha itu sedikit berubah setelah datangnya Tan Malaka ke Bayah yang bekerja sebagai juru tulis di kantor sosial setempat. Tan Malaka sangat memperhatikan nasib para romusha, ia sering memberikan saran tentang kesehatan dan kesejahteraan para romusha kepada pejabat direktur di tempat ia bekerja Kolonel Tamura, namun tidak berhasil. Tidak hanya hal itu yang ia lakukan, tidak jarang ia juga pernah membelikan para romusha nasi dengan upahnya sendiri. Ia juga meminta bantuan pemuda di sekitar Bayah untuk membangun dapur umum bagi para romusha, membangun rumah sakit di Bayah, dan membuka kebun buah-buahan dan sayur-sayuran di Tegal Lumbu dekat Bayah.

Di dalam perusahaan, dia selalu mengusulkan peningkatan kesejahteraan romusha. Tan termasuk anti-Jepang, tapi tetap bergaul dengan mereka, termasuk penjabat direktur Kolonel Tamura. Dia mencoba berbicara mengenai kesejahteraan pekerja, tapi upayanya sia-sia.

Romusha mendapat upah 0,40 gulden (40 sen) dan 250 gram beras setiap hari. Uang 40 sen hanya cukup buat membeli satu pisang. Dalam salah satu tulisannya, Rencana Ekonomi Berjuang, Tan mengatakan hitung-hitungan upah romusha hanya di atas kertas. Tulisan itu dia buat di Surabaya pada November 1945.

Di situ Tan melukiskan kondisi romusha di Bayah lewat percakapan dua tokoh cerita, si Toke dan si Godam. ”Seratus ton arang itu diperoleh dengan makian bagero saja. Tanah, mesin, dan tenaga romusha pun digedor,” ucap si Godam. Ringkasnya, Jepang sama sekali tidak mengeluarkan bayaran romusha.

Tan mencoba menggalang pemuda untuk memperbaiki nasib romusha. Dia menggagas dapur umum yang menyediakan makanan bagi seribu romusha. Mereka membangun rumah sakit di pinggiran Desa Bayah, Cikaret. Tan juga membuka kebun sayur dan buah-buahan di Tegal Lumbu, 30 kilometer dari Bayah.

Peran Tan semakin besar ketika dia ditunjuk sebagai Ketua Badan Pembantu Keluarga Peta—organisasi sosial yang membantu tentara bentukan Jepang, Pembela Tanah Air (Peta). Di bawah panji Badan Pembantu, Tan lebih leluasa mengadakan kegiatan kemasyarakatan, seperti pertunjukan sandiwara atau sepak bola.

Tim sandiwara dan sepak bola itu bernama Pantai Selatan. Pertunjukan sandiwara banyak bercerita tentang nasib romusha. Mereka pernah memainkan Hikayat Hang Tuah, Diponegoro, dan Puputan Bali.
Tim sepak bola juga pernah tampil dalam kejuaraan di Rangkasbitung. Tan menggagas pembangunan lapangan sepak bola di Bayah—kini menjadi terminal. Ia menjadi pemain sayap. Tapi Tan lebih sering menjadi wasit. Selesai bermain, dia biasanya mentraktir para pemain.

Pada September 1944, Soekarno dan Hatta berkunjung ke Bayah. Tan menjadi anggota panitia penyambutan tamu.Soekarno berpidato bahwa Indonesia bersama Jepang akan mengalahkan Sekutu. Setelah itu, Jepang memberikan kemerdekaan buat Indonesia. Soekarno meminta pekerja tambang membantu berjuang dengan meningkatkan produksi batu bara.

Selesai pidato, moderator Sukarjo Wiryopranoto mempersilakan hadirin bertanya. Saat itu Tan sedang memilih kue dan minuman untuk para tamu. Para penanya rupanya sering mendapat jawaban guyon sinis. Kepada Son-co (Camat) Bayah, misalnya, Sukarjo mengejek supaya ikut kursus ”Pangreh Praja”.

Tan gerah dengan suasana penuh ejekan itu. Dia pun menyimpan talam kue dan minuman di belakang, lalu bertanya: apakah tidak lebih tepat kemerdekaan Indonesialah kelak yang lebih menjamin kemenangan terakhir?
Soekarno menjawab bahwa Indonesia harus menghormati jasa Jepang menyingkirkan tentara Belanda dan Sekutu. Tan membantah. Menurut dia, rakyat akan berjuang dengan semangat lebih besar membela kemerdekaan yang ada daripada yang dijanjikan.


Tan melihat Soekarno jengkel. Menurut dia, Soekarno mungkin tidak pernah didebat ketika berpidato di seluruh Jawa. Apalagi bantahan itu dari Bayah, kota kecil di pesisir yang cuma dikenal karena urusan romusha dan nyamuk malaria. Tan ingin berbicara lebih panjang, tapi keburu dihentikan.

“Kalau Dai Nippon sekarang juga memberikan kemerdekaan kepada saya, maka saya tidak akan menerima.” Suara Bung Karno tegas ketika rangkaian kalimat itu meluncur dari mulutnya. Tegas, tak hanya karena ia ingin menguatkan sikapnya, tetapi juga segera hendak mengakhiri perdebatan yang menurutnya debat kusir dengan lelaki kecil bertopi mandor onderneming yang ngotot itu.
Pelan-pelan Bung Karno mengenali lelaki itu. Benar, dia Tan Malaka, pejuang yang selama ini menghilang dikejar-kejar tak hanya dinas intelijen Hindia Belanda (PID), atau Kempeitay Jepang, melainkan semua aparat penjajah; Inggris, Amerika.
Bung Karno melihat lelaki yang mengaku bernama Ilyas Hussein itu sigap hendak merebut mikropon, hanya gagal karena Son Co wilayah Bayah lebih dulu mengambilnya. Perdebatan pun berakhir, hingga pertemuan itu usai. Bahkan sampai Soekarno dan rombongan pulang ke Jakarta, beberapa hari kemudian.
Adegan itu terekam dalam buku Harry A Poeze, penulis paling otoritatif tentang Tan Malaka, ‘Pergulatan Menuju Republik’, terbitan Grafiti Pers. Bung Karno, dalam kampanye untuk menarik rakyat menjadi romusha—sering diartikan sebagai kerja paksa khas Jepang, sempat mengunjungi Bayah, Banten Selatan, tempat romusha dipekerjakan untuk membangun jaringan rel kereta api Saketi-Bayah, sepanjang 150-an km.
Bung Karno datang bersama Bung Hatta dan para anggota Jawa Hokokai. Kedatangan itu bagian dari kampanye Bung Karno untuk bekerja sama dengan Pemerintah Pendudukan Jepang, yang ia yakini akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Sebelumnya, pada 3 September 1944, Bung Karno telah memberangkatkan 500-an romusha ke Burma.
Para romusha itu berangkat dengan bangga, diiringi pidato Soekarno,” Tujuan usaha ini adalah untuk menunjukkan kepada Jepang bahwa penduduk Jawa telah siap sehidup semati dengan Dai Nippon. Kita berjanji tidak akan bercukur selama pengabdian sebagai romusha, sebagai tanda bukti kepada negara,” kata Bung Karno, seperti tertuang dalam buku yang ditulis Aiko Kurasawa.
Bung Karno sendiri datang ke Bayah sebagai romusha. Pada lengannya tertulis pita besar bernomor 970. Romusha bernama Soekarno itu ditulis koran-koran zaman itu tinggal di pondokan sederhana romusha, makan makanan mereka. Koran juga memuat foto saat Bung Karno mengangkat karung pasir dalam pekerjaan sehari-hari romusha.
Bedanya, Bung Karno dan rombongan beberapa hari kemudian pulang ke Jakarta, dan para romusha asli tidak.
Pada saat acara penyambutan kedatangan Bung Karno dkk itulah, terjadi perdebatan antara Bung Karno dengan Ilyas—Tan Malaka. Pidato Soekarno bahwa Indonesia bersama Jepang akan mengalahkan Sekutu dan setelah itu Jepang memberikan kemerdekaan buat Indonesia, dibantah Tan Malaka. Itulah perbedaan sikap kedua pemimpin, pejuang yang sama-sama mencita-citakan kemerdekaan Indonesia itu.
Kita tahu, soal romusha seringkali menjadi titik hitam yang kerap dialamatkan kepada hidup Bung Karno. Pasalnya, sebagaimana kerja paksa yang digelar Jepang di sepanjang Nok Pla Duk (Thailand) ke Thanbyuzayet (Burma), yang menurut sejarahwan Aiko Kurasawa menyebabkan kematian 30 ribu romusha diantaranya asal Indonesia, demikian pula di pembuatan rel Saketi-Bayah. Ribuan romusha mati kelaparan dan diserang penyakit. Dalam catatannya, Tan Malaka menulis, di sarang malaria dan kolera itu, setidaknya 300-an romusha mati setiap bulan.
Tetapi bukankah manusia memang layak punya cela? Bung Karno sendiri bukan seorang berhati keras membatu. Kepada penulis biografinya, Cindy Adam, almarhum menyampaikan pengakuan, yang lebih laik satu penyesalan.
Sesungguhnya akulah –Sukarno – yang mengirim mereka kerja paksa. Ya, akulah orangnya. Aku menyuruh mereka berlayar menuju kematian. Ya, ya, ya, ya akulah orangnya. Aku membuat pernyataan untuk menyokong pengerahan romusha. Aku bergambar dekat Bogor dengan topi di kepala dan cangkul di tangan untuk menunjukkan betapa mudah dan enaknya menjadi seorang romusha. Dengan para wartawan, juru potret, Gunseikan –Kepala Pemerintahan Militer- dan para pembesar pemerintahan aku membuat perjalanan ke Banten untuk menyaksikan tulang-tulang-kerangka-hidup yang menimbulkan belas, membudak di garis-belakang, itu jauh di dalam tambang batubara dan tambang mas. Mengerikan. Ini membikin hati di dalam seperti diremuk-remuk.”
Awal Juni 1945, Tan menerima undangan dari Badan Pembantu Keluarga Peta Rangkasbitung untuk membicarakan kemerdekaan. Pertemuan itu untuk memilih dan mengirimkan wakil Banten ke pertemuan Jakarta. Tan—sebagai Hussein—didaulat menjadi wakil Banten ke konferensi Jakarta.

Pertemuan di Jakarta diadakan buat mempersatukan pemuda Jawa. Konferensi gagal terlaksana karena larangan Jepang. Tan hanya berbicara sebentar dengan kelompok pemuda angkatan baru, seperti Harsono Tjokroaminoto, Chaerul Saleh, Sukarni, dan B.M. Diah.

Kembali ke Bayah, Tan pindah tugas ke kantor pusat dan mencatat data mengenai romusha. Suatu ketika, Jepang mengumumkan rencana pemotongan ransum. Tan lalu mengemukakan keberatannya dengan berorasi di muka umum. Besoknya, Jepang membatalkan pengurangan ransum.

Di Jakarta, pidato Tan itu dikabarkan menjadi biang kerusuhan. Romusha melarikan diri dan mogok di Gunung Madur. Kempetai (polisi militer Jepang) di Bayah mulai mencari identitas Hussein.
 Tapi penyelidikan terhenti karena posisi Jepang kian genting. Jerman sudah menyerang dan Rusia menyerbu Jepang pada 9 Agustus 1945.

Tan melihat aktivitas orang Jepang mulai longgar. Dia memanfaatkan situasi itu untuk minta izin hadir dalam konferensi pemuda di Jakarta pada 14 Agustus. Dia menjadi utusan semua pegawai pertambangan dan mendapatkan surat pengantar untuk Soekarno dan Hatta.

Sesampai di Jakarta, dia hanya bertemu sebentar dengan Sukarni. Dia tidak mengetahui drama penculikan Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok. Setelah merdeka, Tan lebih banyak tinggal di Jakarta. Akhir Agustus, dia pergi ke Bayah mengunjungi pemimpin Peta, Djajaroekmantara.

Tan Malaka ke Bayah juga punya tujuan lain, yakni mengambil naskah Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika). Poeze mengatakan naskah itu tersimpan rapi tanpa diketahui siapa pun.

Di Bayah, kegiatan penambangan berangsur terhenti sepeninggal Jepang. Penduduk membumihanguskan Bayah saat agresi militer kedua Belanda pada 1948. Pemerintah setempat membuat tugu romusha pada 1950-an. ”Rasanya dulu lebih ramai ketimbang sekarang,” kata Haji Sukaedji, 73 tahun, warga kelahiran Bayah, kepada Tempo.

Stasiun Saketi menjadi tempat persimpangan kereta dari Jakarta menuju Bayah dan Labuan. Tempo—bersama penulis buku Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik 1925-1945 , Harry Albert Poeze—menelusuri rute perjalanan Tan dari Stasiun Saketi. Kini bangunan itu telah menjadi tempat tinggal anak kepala stasiun, Momo Mujaya, 58 tahun. Jalur Saketi-Bayah berhenti beroperasi pada 1950-an, disusul Saketi-Labuan sekitar 1980. Stasiun Bayah kini menjadi tanah kosong penuh ilalang….




Sumber :

http://nasional.inilah.com/read/detail/2127251/soekarno-romusha-bernomor-lengan-970#.VGCaMvmUf_E

http://www.kaskus.co.id/thread/000000000000000012328131/the-indonesian-death-railway--jejak-jejak-romusha-di-indonesia/


Sunday, July 13, 2014

Apakah Zionisme itu?

1. Apakah arti dari istilah Zion?

Zion/Sion -- sebenarnya nama sebuah bukit di Yerusalem -- sebuah nama yang selalu dirujuk sebagai tanah air orang Yahudi, Negeri Israel. Zion adalah istilah yang digunakan dalam Alkitab yang merujuk pada tanah Israel dan juga sekaligus sebagai merujuk pada kenegaraannya dan kespiritualannya, Yerusalem.     

2. Apakah hubungan antara bangsa Yahudi dengan Zion?
  • Bait ini merupakan pusat pemujaan Yahudi sebelah atas bukit Zion.Bait ini merupakan pusat pemujaan Yahudi sebelah atas bukit Zion.Zion adalah tempat kelahiran bangsa Yahudi. Bangsa ini telah memiliki kedaulatan atau paling tidak telah menunjukkan berkebudayaan untuk selama kurun waktu 1500 tahun, membuat dan mengembangkan apa yang dikenal sebagai peradaban Yahudi.
  • Zion telah didiami bangsa Yahudi dalam kurun waktu ribuan tahun. Saat ini merupakan satu-satunya negeri di dunia yang didiami oleh bangsa yang sama, agama yang sama, bahasa dan budaya yang sama dengan saat 3000 tahun lalu.
  • Untuk berabad-abad lamanya mayoritas orang Yahudi hidup tersebar di berbagai negara di seluruh dunia. Namun ikatan batin dan ikatan kebangsaan -- yang tercermin dalam peribadatan dan kesusasteraan -- secara terus menerus menghubungkan komunitas-komunitas Yahudi dengan tanah leluhurnya.
  • Setelah berabad-abad terpuruk dan terabaikan di bawah pendudukan asing, Zion kembali bersinar sekali lagi, dengan adanya kenaikan yang besar pada jumlah penduduk Yahudi dalam waktu 100 tahun terahir, dan berhasil meraih kembali kemerdekaannya di tahun 1948. 

3. Apakah arti dari istilah Zionisme itu?
  • Zionisme adalan Gerakan Kemerdekaan Nasional bangsa Yahudi.
  • Zionisme merupakan cerminan masa kini akan impian bangsa Yahudi 1900 tahun lalu untuk membangun kembali Israel, setelah Roma mengahiri kemerdekaan bangsa Yahudi di Negeri Israel.
  • Zionisme merupakan keyakinan bahwa orang Yahudi memiliki hak untuk bebas dan merdeka di tanah airnya.
  • Zionisme merupakan usaha terus menerus, melalui jalur politik, untuk mengembangkan dan melestarikan keberadaan bangsa Yahudi di Negeri Israel.
  • Zionisme mengakui bahwa keyahudian seseorang ditentukan oleh berbagai nilai umum yang menghubungkannya dengan agama, kebudayaan, bahasa, sejarah, idealisme dasar dan aspirasi.

4. Apakah semua orang Yahudi adalah Zionis?
  • Yahudi adalah Zionis dalam arti bahwa pemulihan kembali orang Yahudi di tanah asalnya adalah bagian dari prinsip dasar kepercayaan Yahudi.
  • Sebagian besar orang Yahudi mendukung Negara Israel - realisasi dasar dari Zionisme.
  • Sebagian kecil tidak menerima Zionisme sebagai gerakan/wahana politis.

5. Bagaimana Zionisme menjadi gerakan politik yang terorganisir?
  • Zionisme berkembang menjadi gerakan politik yang terorganisir, dalam kurun waktu yang ditandai dengan tumbuhnya pengakuan akan gerakan politik di Eropa, ketika orang Yahudi juga merasa waktunya sudah tiba untuk menegaskan kembali identitas nasional bangsa Yahudi.
  • Zionisme, sebagai pergerakan, juga dipengaruhi oleh berkembangnya pendapat anti Semit di Eropa pada paruh ahir abad ke 19.
  • Zionisme secara resmi menjadi gerakan politik nasional di tahun 1897, dengan seruan untuk meraih kembali tanah air bagi bangsa Yahudi. 

6. Apakah orang Yahudi diaspora (yang tersebar) mendukung zionisme?
  • Orang Yahudi diaspora, secara umum mendukung Zionisme melalui partisipasi aktif dalam berbagai aspek pergerakan itu sendiri atau melalui dukungan publik atau keuangan bagi Israel. 
  • Sebagian orang Yahudi Diaspora menyatakan keyakinannya akan Zionisme dengan melakukan imigrasi ke Negeri Israel untuk berpartisipasi dalam tugas membangun negara.
  • Orang Yahudi Diaspora, terkait langsung atau tidak dengan kegiatan Zionis, telah diperkaya secara budaya, sosial dan spritual untuk kembalinya Israel di tanah leluhurnya.

7. Apakah Zionisme telah selesai tugasnya setelah negara Israel berdiri kembali?
  • Terbentuknya kembali negara Israel merupakan realisasi elemen utama ideologi Zionis :  mengembalikan kedaulatan Yahudi di negeri Israel.
  • Namun cita-cita Zionis juga mencakup beberapa segi yang masih dalam proses realisasi. Cita-cita Zionis juga mencakup:
  • Sebuah Israel yang hidup berdampingan secara damai;
  • Sebuah Israel yang memiliki kedaulatan penuh dan perekonomian yang berdikari;
  • Kehidupan sosial dan ekonomi yang baik untuk semua warganegara dan komunitas yang tinggal di Israel.

8. Apakah anti-Zionisme dan anti-Semit hal yang sama?
  • Ada titik temu yang berbahaya antara anti-Zionisme dan anti-Semit, meskipun konsep ke duanya tidaklah identik.
  • Anti-Zionisme sekarang mengarah pada penentangan realisasi politis dari Zionisme- yaitu Negara Israel.
  • Anti-Zionisme juga telah menjadi ungkapan baru atas istilah lama anti-Semit. Hal ini telah memberikan anti-Semit sebuah selubung yang menyembunyikan kebencian terhadap orang Yahudi.
  • Anti-Zionisme, dalam arti mencari upaya-upaya untuk menolak hak berdaulat bangsa Yahudi adalah salah satu bentuk anti-Semit.

9. Bagaimana dengan tuduhan bahwa Zionisme merupakan salah satu bentuk rasisme?
  • Kelompok Anti-Zionisme, dalam tahun 1975, telah berhasil meloloskan resolusi PBB yang menyatakan bahwa ‘Zionisme adalah salah satu bentuk rasisme’.
  • Meskipun ditentang oleh negara-negara Barat, resolusi tersebut disetujui secara mayoritas oleh anggota PBB kelompok negara Arab/Dunia ketiga/bloc Komunis,  yang pada beberapa tahun terahir selalu meloloskan berbagai resolusi anti Negara Barat, anti demokrasi atau anti Israel, tanpa alasan yang mendasar.
  • Sebenarnya pada kenyataannya, jauh dari tuduhan rasis, negara Israel adalah masyarakat plurastik dan terbuka, terdiri atas beragam etnis dan kelompok keagamaan, dan semuanya bebas untuk menjalankan kepercayaan dan tradisi, mengembangkan kebudayaan dan berpartisipasi dalam proses demokrasi negara.

10. Apa yang menjadi akar masalah penentangan Arab terhadap Zionisme ?

Penentangan Arab akan Zionisme didasarkan oleh hal-hal yang melibatkan:
  • Hak bernegara: Hampir semua negara Arab menuntut Kedaulatan Arab atas semua wilayah Timur Tengah, dan mengenyampingkan Hak kaum Yahudi.
  • Agama: Sejak dulu, Islam tidak mengakui adanya hak kedaulatan penduduk non Muslim dalam bentuk apapun dalam „Dunia Islam“. Yahudi, seperti kelompok Kristen, telah dikesampingkan menjadi kelompok dhimmis. – orang yang diproteksi dalam dominasi Muslim. Jadi Islam, menolak ide akan adanya Negara Yahudi berdaulat di dalam konteks dunia Arab-Islam.
  • Sosial-ekonomi: Banyak pemimpin Arab merasa bahwa posisi mereka terancam apabila ada interaksi bebas antara negara tradisional dan konservatif dengan Israel - negara yang berdemokrasi terbuka dan berkembang pesat. 

11. Dapatkah aspirasi kaum Zionis dan Arab hidup berdampingan?
  • Hidup berdampingan – melalui saling mengakui, negosiasi langsung dan keinginan tulus bagi terciptanya perdamaian-  merupakan kunci rekonsiliasi kaum Zionis dengan aspirasi bangsa Arab. Perjanjian Perdamaian Israel dan Mesir, ditandatangani pada  tahun 1975, memberikan contoh nyata mengenai hidup berdampingan.
  • Gerakan Zionis – baik sebelum maupun sesudah pendirian kembali Negara Israel – selalu diusahakan dan sejalan dengan perdamaian dan hubungan yang saling menguntungkan antara semua orang dan antar negara tetangga.
  • Hanya dengan keinginan yang kuat, dan di atas segalanya, untuk mencapai tujuan ini diperlukan itikad baik serta toleransi yang akan membawa perdamaian nyata bagi semua orang di Timur Tengah.





 
Design by Jery Tampubolon | Bloggerized by Jery - Rhainhart Tampubolon | Indonesian Humanis