Showing posts with label Indonesian. Show all posts
Showing posts with label Indonesian. Show all posts

Thursday, September 28, 2017

Hermanto Purba: Sebuah Kesaksian Kekejian Orde Baru

"Sejak saya masih di dalam kandungan, hingga saya duduk di bangku SMA, saya hidup pada masa orde baru, dididik dengan gaya orde baru, dan bersekolah dengan sistem pendidikan orde baru. Namun, saya baru dengan jelas mengingat bagaimana rasanya hidup di era orde baru, mungkin sejak saya duduk di kelas III SD (tahun 1991)."

Saya sudah duduk di bangku kelas II SMA ketika Soeharto dipaksa lengser oleh ribuan massa pada Mei 1998 lalu. Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun itu, tidak mampu bertahan dari derasnya arus gelombang demonstrasi, yang diprakarsai oleh para mahasiswa tersebut. Setelah selama tujuh periode berturut-turut menjadi orang nomor satu di negeri ini, akhirnya Soeharto harus kembali menjadi masyarakat biasa.
Tiga puluh dua tahun, bukanlah waktu yang singkat. Konstitusi (sebelum diamandemen) yang pada saat itu mengizinkan seseorang dapat dipilih hingga berkali-kali menjadi presiden tanpa ada batasan waktu, memuluskan jalan Soeharto untuk menjadi Presiden Indonesia hingga lebih dari tiga dekade.
Sejak resmi menjadi Presiden Republik Indonesia tahun 1968 lalu, hingga pada Sidang Umum MPR terakhir tahun 1998 lalu, seluruh anggota MPR-RI yang sekitar 80 persennya adalah pendukung Soeharto, secara bulat memilih Soeharto menjadi Presiden Republik Indonesia selama tujuh kali berturut-turut. Pastinya, itu bukan sebuah prestasi. Pemaksaan kehendak supaya tetap memilihnya sebagai presiden, ya.
Fraksi Golkar, Fraksi ABRI dan Fraksi Utusan Golongan, berhasil dikuasai oleh Soeharto. Fraksi tersisa, Fraksi PDI dan PPP, keberadaaannya seperti dikebiri oleh Soeharto. Kedua fraksi tersebut hanya sebagai pelengkap saja yang sama sekali tidak memiliki kekuatan. Dan bahkan, dalam banyak hal, kedua fraksi tersebut juga kerap sejalan dengan Soeharto.
Sejak saya masih di dalam kandungan, hingga saya duduk di bangku SMA, saya hidup pada masa orde baru, dididik dengan gaya orde baru, dan bersekolah dengan sistem pendidikan orde baru. Namun, saya baru dengan jelas mengingat bagaimana rasanya hidup di era orde baru, mungkin sejak saya duduk di kelas III SD (tahun 1991).
Mengenang masa-masa hidup di zaman orde baru, salah satunya yang masih sangat melekat di ingatan saya adalah menonton hanya satu stasiun televisi saja, Televisi Republik Indonesia (TVRI). Tidak ada pilihan lain. Jika pada saat ini ada begitu banyak stasiun televisi yang setiap stasiun televisinya menawarkan program dan acara yang berbeda, pada masa orde baru, tidak mengenal hal yang demikian.
Pada masa orde baru, saya tidak mengenal Metro TV atau Kompas TV misalnya, yang sepanjang harinya menyajikan informasi dan berita menarik. Kami juga tidak pernah tahu RCTI, MNCTV, SCTV atau Indosiar yang menayangkan berbagai sinetron, hanya untuk sekedar menghibur diri. Kami juga tidak mengenal HBO Premium yang menayangkan film-film “box office,” atau BeinSport untuk menyaksikan liga-liga Eropa yang cukup memanjakan mata tersebut.
Copyimage https://indoprogress.com
Salah satu hal yang paling menyebalkan ketika sedang menonton TVRI ketika itu adalah di saat kita sedang asyik menonton acara yang sudah ditunggu-tunggu hingga seminggu lamanya, karena jam tayangnya memang hanya sekali seminggu, tiba-tiba “Liputan Khusus TVRI.” Rasanya sama seperti saat-saat menunggu malam minggu tiba, pada masa SMA dulu, dan tiba-tiba hujan deras turun serta petir bersahut-sahutan. Rasanya sungguh membuat hati gundah gulana.
Acara “Liputan Khusus TVRI” adalah sebuah acara untuk melaporkan kegiatan presiden ketika sedang berkunjung ke luar negeri atau ke daerah tertentu. Segala sesuatu dijelaskan di sana. Mulain dari masalah remeh, hingga masalah serius yang terkadang sangat sulit dicerna otak. Dan satu hal yang pasti, acara tersebut hanya akan menyampaikan segala hal-hal baik tentang presiden.
Jangan pernah membayangkan bahwa pada masa orde baru dulu, kita akan menyaksikan perdebatan sengit di layar kaca antara pihak yang pro dan kontra terhadap berbagai kebijakan pemerintah. Jangan pula berharap kita akan menyaksikan siaran berita yang menyampaikan berbagai kekurangan serta kritik kepada pemerintah. Karena hal tersebut adalah sesuatu yang tabuh dan sangat diharamkan.
TVRI pada era orde baru, mungkin agak sedikit mirip dengan TV nasional yang ada di Korea Utara saat ini. Stasiun televisi nasional tersebut menjadi corong pemerintah, sebagai media propaganda pemerintah. Lewat berbagai siaran berita di TVRI, kita akan disajikan berbagai pencapaian pemerintah yang kita tidak tahu kebenaran segala pencapaian tersebut. Karena kita tidak memiliki media pembanding sebagamana jamak kita temui saat ini.
Baik media televisi, radio dan media-media cetak lainnya secara serentak memaparkan keberhasilan dan kesuksesan pemerintah. Indonesia macan Asia, Indonesia sedang tinggal landas, Indonesia yang menganut demokrasi Pancasila, dan berbagai pemberitaan “positif” lainnya tentang Indonesia sudah sangat akrab di telinga kita pada waktu itu. Lantas, bagaiamana jika ada media yang ketahuan mengkritik pemerintah? Hukumnya jelas: diberedel.
Di permukaan Indonesia kelihatannya begitu demokratis. Namun di bawah, penuh dengan kekejian dan pemaksaan kehendak oleh pemerintah yang sangat bertolak belakang dengan nilai-nilai demokrasi yang didengung-dengungkan oleh pemerintah tersebut. Sebab pada kenyataannya, bagi pemerintah semuanya harus sama. Bagaimana kalau berbeda? Ya, harus dipaksa supaya sama.
Jangan sekali-kali menyampaikan kritik kepada pemerintah jika tidak ingin mengalami hal-hal yang tidak mengenakkan, mungkin kira-kira demikian yang terjadi pada masa orde baru. Selama saya hidup di masa orde baru, belum pernah sekalipun ada pemberitaan tentang adanya protes atau demo yang dilakukan oleh masyarakat atas ketidakpuasannya terhadap pemerintah. Semuanya berjalan “tenang, aman dan damai.”
Suatu waktu, ketika saya masih kelas I SMA, guru Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) kami menugasi kami untuk membuat sebuah makalah tentang apa saja yang terkait dengan Indonesia. Tugas makalah tersebut harus kami selesaikan dalam waktu dua minggu.
Sungguh waktu yang amat singkat sebenarnya. Di samping kami harus mengerjakan dengan tulis tangan, karena belum ada komputer saat itu, kami juga begitu kesulitan untuk mencari bahan bacaan sebagai buku pendukung untuk penulisan makalah tersebut.
Hingga saya menemukan beberapa buku tulisan George Junus Aditjondro yang membahas tentang sisi lain (baca: berbagai pelanggaran hukum) yang dilakukan oleh Soeharto. Saya melahap semua buku-buku tersebut. Hingga pada akhirnya saya memutuskan untuk menulis makalah tentang Soeharto. Saya berpikir “toh” Soeharto adalah bagian dari Indonesia, jadi tidak melenceng dari tema.
Akhirnya, makalah yang saya beri judul “Melihat Soeharto dari Sudut Pandang Lain” itu selesai saya tulis. Betapa kaget dan takutnya guru PPKn kami membaca makalah tersebut. Menurut pengakuan guru PPKn kami tersebut, “saking” dianggap begitu berbahayanya makalah saya tersebut, sampai-sampai keberadaan makalah saya tersebut dibahas secara khusus pada rapat dewan guru.
Dan, untuk mendapatkan penjelasan tentang makalah tersebut, saya dipanggil ke kantor kepala sekolah. Lama saya di sana. Saya dinasehati, diberi masukan, hingga kami tiba pada sebuah kesimpulan: makalah saya tersebut harus dimusnahkan. Saya setuju makalah tersebut dimusnahkan, tetapi saya meminta supaya saya menyalin kembali isi makalah tersebut.
Namun tidak mendapat persetujuan dari sekolah. “Kalau informasi tentang makalah ini tercium sampai ke camat, habislah kita. Bisa-bisa sekolah kita ditutup nanti oleh pemerintah,” begitu kepala sekolah menyampaikan rasa khawatirannya. Saya, yang kebetulan sekolah di sebuah sekolah swasta, sangat mengerti ketakutan kepala sekolah tersebut. Akhirnya, makalah tersebut dimusnahkan dengan cara dibakar. Menyedihkan bukan?
Copyimage https://indoprogress.com
Selain masalah makalah tersebut, saya juga pernah mengalami masa yang sangat menakutkan dan menegangkan atas perlakuan rezim orde baru. Ayah dan ibu saya kebetulan bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Ayah saya seorang guru PPKn di sebuah SMP di daerah saya, dan ibu saya seorang guru SD.
Gaji guru yang cukup kecil ketika itu, membuat orang tua saya belum mampu membanguan atau membeli rumah baru. Kami terpaksa harus tinggal di perumahan sekolah yang kondisi rumah tersebut sebenarnya sudah kurang layak untuk ditempati. Namun, kami harus tinggal di sana. Bertahun-tahun lamanya kami melewatkan hari-hari kami di rumah yang disediakan oleh pemerintah tersebut.
Hingga pada suatu waktu, ketika pemilu tahun 1997 dilaksanakan, ayah saya ketahuan tidak memilih Golkar. Keharusan bagi seorang PNS untuk loyal kepada pemerintah, menjadi sedikit bias waktu itu. Ada sebuah kewajiban tidak tertulis pada waktu itu bahwa seorang PNS “wajib” memilih Golkar. Jika di kemudian hari ketahuan ternyata tidak memilih organisasi berlambang pohon beringin tersebut, maka bersiaplah untuk menghadapi “bencana.”
Memang setiap perhelatan pemilu pada orde baru di desa tempat saya tinggal, sepanjang yang saya ingat, Golkar selalu unggul dengan jumlah suara yang sangat besar. Jangankan kalah, bahkan Golkar beberapa kali meraup hampir 100 persen suara pemilih. Lalu yang menjadi pertanyaan, apakah para pemilih ketika itu memilih Golkar dengan tulus? Tidak. Banyak yang dipaksa. Banyak pula yang ditekan dan ditakut-takuti.
Pemilihan pada masa orde baru yang disebut LUBER (Langsung, Umum, Bebas, Rahasia) itu, sepertinya tidak LUBER. Menjelang hari-H pemilihan, camat, kepala desa, dan seluruh perangkatnya, beserta para PNS secara terang-terangan melakukan kampanye supaya para calon pemilih menusuk Golkar di bilik-bilik suara ketika pemilu digelar.
Kembali lagi ke ayah saya tadi, saya bingung, dari mana pemerintah tahu kalau ayah saya tidak memilih Golkar. Setelah dipanggil beberapa kali ke kantor kecamatan, akhirnya ayah saya mengakui bahwa dia telah memilih Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Ayah saya yang kebetulan adalah seorang guru PPKn, yang sedikit banyak tahu tentang peraturan dan perundang-undangan, beralasan bahwa tidak ada satu aturan pun yang mewajibkan PNS untuk memilih Golkar.
Hingga pada akhirnya, suatu malam, sekitar jam 22.00 WIB, sekelompok pemuda yang jumlahnya sekitar 50-an orang didampingi oleh kepala desa, dengan menaiki sebuah truk, datang menggedor-gedor pintu rumah yang kami tempati. Dengan berbagai jenis senjata tajam di tangan mereka, ayah saya diancam akan dibunuh.
Tidak tahu lagi bagaimana saya menggambarkan ketakutan yang saya rasakan ketika itu. Saya yang masih duduk di bangku SMP kala itu, tidak dapat berbuat apa-apa. Saya, ibu saya dan adik-adik saya, hanya bisa menangis sejadi-jadinya. Melihat berbagai jenis senjata tajam yang teracung ketika itu, saya membayangkan, pastilah kami sekeluarga akan “dihilangkan.”
Hingga pada akhirnya, ayah saya dibawa ke suatu tempat yang kami tidak tahu di mana lokasinya. Sekali lagi, tidak ada yang bisa kami lakukan waktu itu. Kami hanya pasrah dan berdoa kepada Tuhan yang kami sembah. Dengan satu harapan, ayah saya akan kembali lagi ke rumah. Bahkan kembali dalam bentuk mayat pun, kami sudah siap.
Berselang sekitar tiga jam, ayah saya kembali. Kami tidak tahu, ayah diapakan oleh massa tersebut. Dan ayah pun bungkam atas apa yang baru saja ia alami. Malam itu juga, kami harus pindah. Mungkin itu adalah hasil kesepakatan ayah saya dengan massa yang begitu beringas tersebut. Di tengah kesunyian malam kala itu, kami pindah. Kami angkati semua barang-barang yang bisa kami bawa.
Hingga sebuah masalah muncul, ke mana kami mau pindah? Namun kami bersyukur. Ada warga yang berbaik hati. Kami diberi kesempatan untuk tinggal beberapa waktu di sebuah gudang milik mereka yang lama sudah tidak digunakan. Kurang lebih setahun lamanya kami tinggal di gudang tersebut. Hingga akhirnya, kami dapat pindah ke rumah baru yang dengan bersusah payah berhasil dibangun oleh orang tua saya.
Bagi saya pribadi, orde baru memang kejam. Teramat kejam malah. Saya yakin sekali, setiap kita yang pernah hidup di alam orde baru, pasti mempunyai kisah tersendiri tentang kekejian yang dipraktekkan oleh rezim orde baru.
Oleh karenanya, lewat tulisan ini saya menghimbau, marilah kita secara bersama-sama menolak kebangkitan rezim orde baru yang sepertinya dengan sengaja sedang dimunculkan oleh pihak-pihak yang tidak senang Indonesia hidup di era demokrasi dan keterbukaan, yang telah kita nikmati bersama-sama sejak tumbangnya rezim orde baru tersebut.
Mari senantiasa menjaga dan merawat Indonesia. Menjaga dan merawat kebhinnekaan, persatuan, dan kesatuan bangsa Indonesia. Merdeka!!

Wednesday, January 27, 2016

Dr. Ryu Hasan: Pengalaman Bertemu Dengan Seorang Gay


"Dr. Ryu Hasan, Sp.BS Ingin Semua Manusia Bahagia Menjadi Diri Sendiri"
Pengalaman bertemu dengan seseorang gay terjadi pada saat saya masih SMA di Kota Malang. Saya memiliki sahabat baik yang tiba-tiba mengatakan sesuatu yg tidak biasanya tentang dirinya: “Saya ingin ngomong sesuatu yang mungkin membuat kamu nggak nyaman,” ujar teman saya.
“Ngomong apa?” tanya saya.
Di situlah ia mengatakan bahwa dirinya adalah seorang gay. Ia seorang pria yang menyukai pria lain. Saya katakan bahwa saya tidak merasa risih. Saya nyaman dengan kondisinya dan tetap berteman dengannya. Dalam kesehariannya, ia adalah anak yang baik. Saya pernah membelanya di saat seorang murid di sekolah kami menghinanya dengan sebutan, maaf, banci. Istilah ini merendahkan sekali. Saya malahan merasa risih jika seorang yang sebenarnya baik, tetapi harus dipinggirkan oleh lingkungan sekitarnya hanya semata-mata karena pembawaan dirinya.
" Saya katakan bahwa saya tidak merasa risih. Saya nyaman dengan kondisinya dan tetap berteman dengannya.
Saat teman saya mengatakan identitasnya kepada saya, tidak banyak yang bisa saya katakan kepadanya. Karena masih SMA, saya belum mengetahui tentang ilmu kedokteran. Namun, kami tetap berteman baik. Kami tetap sering ngobrol bareng dan terkadang ia main ke rumah saya. Persahabatan kami bisa dibilang solid.
Setelah mulai mempelajari ilmu kedokteran, saya mendapatkan begitu banyak fakta medis mengenai Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT). Ternyata, kita ini semua terlahir abu-abu, dan bukan hitam-putih. Sayangnya, lingkungan dan budaya kita tidak diperkenalkan dengan situasi ini dengan baik.
Semenjak kecil, kita diperkenalkan melihat hal segala sesuatu secara dua sisi, dikotomis. Ya, kalau nggak, hitam, ya putih. Kalau nggak benar, ya salah. Kalau nggak lelaki, ya perempuan. Padahal, segala sesuatu seharusnya dilihat dengan kacamata spektrum, karena alam semesta ini memang abu-abu. Yang dimaksud dengan spektrum adalah melihat adanya kategori-kategori lain di kedua ujung yang paling ekstrem. Misalnya, jika kedua ujung ekstrem adalah hitam dan putih, di antara kedua ujung tersebut ada yang hitam keputih-putihan alias abu-abu yg hampir hitam, ada yang putih kehitam-hitaman alias abu-abu yang mendekati putih, ada pula yang abu-abu di tengah-tengah.
"Saya pernah membelanya di saat seorang murid di sekolah kami menghinanya dengan sebutan, maaf, banci. Istilah ini merendahkan sekali.
Masalahnya, ketika turun ke masyarakat, kita hanya mengenal lelaki dan perempuan saja, terbiasa dengan pemikiran dikotomis, sehingga kita tidak dapat menyikapi orang-orang yang memiliki kecenderungan berada di antaranya dengan baik. Ini salah. Bayangkan jika kita dikenalkan melihat segala sesuatunya sebagai spektrum sedari kecil, pasti kita akan jauh lebih rileks melihat keunikan-keunikan manusia.
***
Di saat saya mulai kenal ilmu psikiatri, ilmu kejiwaan, dalam Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa edisi kedua tahun 1984, di situ dijelaskan bahwa gay hanyalah dianggap penyakit kejiwaan apabila orang yang berkaitan mengalami depresi. Artinya, jika harus ‘disembuhkan’, yang disembuhkan bukan orientasi seksualnya, melainkan depresinya. Pedoman itu secara berkala disempurnakan sejalan dengan perkembangan ilmiah dunia kedokteran.
"Saya malahan merasa risih jika seorang yang sebenarnya baik, tetapi harus dipinggirkan oleh lingkungan sekitarnya hanya semata-mata karena pembawaan dirinya
Jadi, isinya akan selalu relevan dan dapat digunakan oleh semua dokter di Indonesia dan seluruh dunia. Kini, Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa sudah memasuki edisi keempat, dan gay, lesbian, biseksual, atau transgender sudah benar-benar bersih dari anggapan penyakit yang harus disembuhkan. Karena memang bukan penyakit. Tidak ada salahnya dengan manusia yang terlahir gay, lesbian, biseksual, atau transgender. Dari kacamata dunia kedokteran, tidak ada yang harus disembuhkan karena LGBT bukanlah penyakit. Jadi, kalau ada dokter yang masih menganggap LGBT sebagai penyakit yang harus disembuhkan, saya bingung panduannya apa? Bukan dokter yang bilang begitu. Sebagai dokter kita harus selalu relevan dengan perkembangan, jangan ketinggalan jaman.
Mengapa manusia bisa dilahirkan memiliki orientasi yang berbeda, sebagai bagian dari identitasnya? Identitas diri manusia didasarkan pada konstelasi otaknya, atau susunan saraf pada otaknya. Otak adalah organ pertama yang terbentuk saat manusia masih menjadi janin. Saat otak ini mulai berkembang di dalam janin, banyak faktor yang mempengaruhi, seperti asupan ibunya, hormon bawaan orangtua, hormon bayinya sendiri, faktor genetik, dan sebagainya. Semua faktor-faktor ini mempengaruhi bentuk konstelasi sirkuit-sirkuit otak janin nanti akan seperti apa. Orang yang suka senyum memiliki konstelasi otak yang berbeda dengan orang yang gampang menangis. Dua orang kembar pun akan berbeda konstelasi otaknya. Konstelasi otak juga menentukan orientasi seksual.
"Kini, Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa sudah memasuki edisi keempat, dan gay, lesbian, biseksual, atau transgender sudah benar-benar bersih dari anggapan penyakit yang harus disembuhkan.
Sebenarnya, orientasi seksual sama halnya dengan orientasi selera terhadap rasa. Ada orang yang suka manis. Ada orang yang suka asin. Ada pula yang suka dua-duanya. Menurut ilmu saraf, masing-masing orang memiliki konstelasi otak yang berbeda. Orang yang suka asin, memiliki konstelasi otak yang berbeda dengan orang yang suka manis. Begitu juga dengan orientasi seksual. Seorang pria yang menyukai pria memiliki konstelasi otak yang berbeda dengan pria yang menyukai wanita. Ini hanyalah masalah variasi normal dari otak manusia.
Mengatakan pria yang menyukai pria tidak normal sama saja mengatakan orang yang menyukai makanan manis itu tidak normal. Ini, kan, nggak adil. Kenapa nggak boleh?
***
Kita harus melihat jenis kelamin, gender, dan orientasi seksual sebagai tiga hal yang terpisah, karena ketiga hal tersebut dikontrol oleh sirkuit otak yg berbeda.
"Sebenarnya, orientasi seksual sama halnya dengan orientasi selera terhadap rasa. Ada orang yang suka manis. Ada orang yang suka asin.
Dengan melihat melalui pemahaman spektrum, kita bisa mendapatkan keberadaan orang-orang yang memiliki jenis kelamin laki-laki, bergender maskulin, tetapi orientasi seksualnya menyukai laki-laki juga. Ada pula yg memiliki jenis kelamin laki-laki, memiliki gender yang feminim, tetapi menyukai wanita. Jadi, kita tidak bisa mengatakan laki-laki yang feminin pasti gay atau lelaki yang gay pasti feminin.
Dunia itu tidak dikotomis. Misalnya, kalau jenis kelaminnya laki-laki, gendernya harus maskulin, dan harus menyukai wanita. Manusia tidak sederhana itu. Mulailah melihat segala sesuatu dengan kacamata spektrum. Terlahir sebagai gay, lesbian, biseksual, atau transgender bukanlah sebuah pilihan. Ini adalah keadaan yang sudah terbentuk sejak sebelum lahir. Dan seandainya pun itu dianggap pilihan, juga bukan masalah. Maksudnya begini: menjadi dianggap pilihan karena tergantung dari bagaimana manusia tersebut menyikapinya. Misalnya ada orang yang memiliki kecenderungan menyukai lelaki dan perempuan, tetapi ia tetap memilih untuk menyukai perempuan saja walaupun ketertarikannya terhadap laki-laki jauh lebih besar. Ini, ya, nggak papa. Sama seperti orang bisa bermain musik gitar atau drum, ia bisa memilih bermain gitar saja. Ya, nggak papa, kan? Pertanyaannya adalah, “Apakah ia bahagia?”
"Mengatakan pria yang menyukai pria tidak normal sama saja mengatakan orang yang menyukai makanan manis itu tidak normal.
Ini menjawab anggapan bahwa seseorang yang tadinya bukan gay, tetapi bisa menjadi gay lantaran banyak menghabiskan waktu dengan kalangan gay. Anggapan ini salah. Jika seseorang menjadi gay, itu karena ia memang sudah punya bakat menjadi gay.
Lingkungan hanya membantu memunculkan sosok manusia itu yang sebenarnya. Tapi kalau memang tidak memiliki bakat gay, mau memiliki teman-teman yang semuanya gay, juga nggak mungkin menjadi gay.
"Terlahir sebagai gay, lesbian, biseksual, atau transgender bukanlah sebuah pilihan.
Ingin menjadi gay atau tidak, yang penting tidak ada pemaksaan di situ. Jika ada unsur pemaksaan, itu sudah melanggar moral. Prinsip dasar moralitas adalah kita memperlakukan orang sebagaimana kita ingin diperlakukan oleh orang lain. Selama seseorang tidak menggangu orang banyak, kenapa harus dipermasalahkan?
***

 
Design by Jery Tampubolon | Bloggerized by Jery - Rhainhart Tampubolon | Indonesian Humanis