Showing posts with label Humanism. Show all posts
Showing posts with label Humanism. Show all posts

Thursday, September 28, 2017

Hermanto Purba: Sebuah Kesaksian Kekejian Orde Baru

"Sejak saya masih di dalam kandungan, hingga saya duduk di bangku SMA, saya hidup pada masa orde baru, dididik dengan gaya orde baru, dan bersekolah dengan sistem pendidikan orde baru. Namun, saya baru dengan jelas mengingat bagaimana rasanya hidup di era orde baru, mungkin sejak saya duduk di kelas III SD (tahun 1991)."

Saya sudah duduk di bangku kelas II SMA ketika Soeharto dipaksa lengser oleh ribuan massa pada Mei 1998 lalu. Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun itu, tidak mampu bertahan dari derasnya arus gelombang demonstrasi, yang diprakarsai oleh para mahasiswa tersebut. Setelah selama tujuh periode berturut-turut menjadi orang nomor satu di negeri ini, akhirnya Soeharto harus kembali menjadi masyarakat biasa.
Tiga puluh dua tahun, bukanlah waktu yang singkat. Konstitusi (sebelum diamandemen) yang pada saat itu mengizinkan seseorang dapat dipilih hingga berkali-kali menjadi presiden tanpa ada batasan waktu, memuluskan jalan Soeharto untuk menjadi Presiden Indonesia hingga lebih dari tiga dekade.
Sejak resmi menjadi Presiden Republik Indonesia tahun 1968 lalu, hingga pada Sidang Umum MPR terakhir tahun 1998 lalu, seluruh anggota MPR-RI yang sekitar 80 persennya adalah pendukung Soeharto, secara bulat memilih Soeharto menjadi Presiden Republik Indonesia selama tujuh kali berturut-turut. Pastinya, itu bukan sebuah prestasi. Pemaksaan kehendak supaya tetap memilihnya sebagai presiden, ya.
Fraksi Golkar, Fraksi ABRI dan Fraksi Utusan Golongan, berhasil dikuasai oleh Soeharto. Fraksi tersisa, Fraksi PDI dan PPP, keberadaaannya seperti dikebiri oleh Soeharto. Kedua fraksi tersebut hanya sebagai pelengkap saja yang sama sekali tidak memiliki kekuatan. Dan bahkan, dalam banyak hal, kedua fraksi tersebut juga kerap sejalan dengan Soeharto.
Sejak saya masih di dalam kandungan, hingga saya duduk di bangku SMA, saya hidup pada masa orde baru, dididik dengan gaya orde baru, dan bersekolah dengan sistem pendidikan orde baru. Namun, saya baru dengan jelas mengingat bagaimana rasanya hidup di era orde baru, mungkin sejak saya duduk di kelas III SD (tahun 1991).
Mengenang masa-masa hidup di zaman orde baru, salah satunya yang masih sangat melekat di ingatan saya adalah menonton hanya satu stasiun televisi saja, Televisi Republik Indonesia (TVRI). Tidak ada pilihan lain. Jika pada saat ini ada begitu banyak stasiun televisi yang setiap stasiun televisinya menawarkan program dan acara yang berbeda, pada masa orde baru, tidak mengenal hal yang demikian.
Pada masa orde baru, saya tidak mengenal Metro TV atau Kompas TV misalnya, yang sepanjang harinya menyajikan informasi dan berita menarik. Kami juga tidak pernah tahu RCTI, MNCTV, SCTV atau Indosiar yang menayangkan berbagai sinetron, hanya untuk sekedar menghibur diri. Kami juga tidak mengenal HBO Premium yang menayangkan film-film “box office,” atau BeinSport untuk menyaksikan liga-liga Eropa yang cukup memanjakan mata tersebut.
Copyimage https://indoprogress.com
Salah satu hal yang paling menyebalkan ketika sedang menonton TVRI ketika itu adalah di saat kita sedang asyik menonton acara yang sudah ditunggu-tunggu hingga seminggu lamanya, karena jam tayangnya memang hanya sekali seminggu, tiba-tiba “Liputan Khusus TVRI.” Rasanya sama seperti saat-saat menunggu malam minggu tiba, pada masa SMA dulu, dan tiba-tiba hujan deras turun serta petir bersahut-sahutan. Rasanya sungguh membuat hati gundah gulana.
Acara “Liputan Khusus TVRI” adalah sebuah acara untuk melaporkan kegiatan presiden ketika sedang berkunjung ke luar negeri atau ke daerah tertentu. Segala sesuatu dijelaskan di sana. Mulain dari masalah remeh, hingga masalah serius yang terkadang sangat sulit dicerna otak. Dan satu hal yang pasti, acara tersebut hanya akan menyampaikan segala hal-hal baik tentang presiden.
Jangan pernah membayangkan bahwa pada masa orde baru dulu, kita akan menyaksikan perdebatan sengit di layar kaca antara pihak yang pro dan kontra terhadap berbagai kebijakan pemerintah. Jangan pula berharap kita akan menyaksikan siaran berita yang menyampaikan berbagai kekurangan serta kritik kepada pemerintah. Karena hal tersebut adalah sesuatu yang tabuh dan sangat diharamkan.
TVRI pada era orde baru, mungkin agak sedikit mirip dengan TV nasional yang ada di Korea Utara saat ini. Stasiun televisi nasional tersebut menjadi corong pemerintah, sebagai media propaganda pemerintah. Lewat berbagai siaran berita di TVRI, kita akan disajikan berbagai pencapaian pemerintah yang kita tidak tahu kebenaran segala pencapaian tersebut. Karena kita tidak memiliki media pembanding sebagamana jamak kita temui saat ini.
Baik media televisi, radio dan media-media cetak lainnya secara serentak memaparkan keberhasilan dan kesuksesan pemerintah. Indonesia macan Asia, Indonesia sedang tinggal landas, Indonesia yang menganut demokrasi Pancasila, dan berbagai pemberitaan “positif” lainnya tentang Indonesia sudah sangat akrab di telinga kita pada waktu itu. Lantas, bagaiamana jika ada media yang ketahuan mengkritik pemerintah? Hukumnya jelas: diberedel.
Di permukaan Indonesia kelihatannya begitu demokratis. Namun di bawah, penuh dengan kekejian dan pemaksaan kehendak oleh pemerintah yang sangat bertolak belakang dengan nilai-nilai demokrasi yang didengung-dengungkan oleh pemerintah tersebut. Sebab pada kenyataannya, bagi pemerintah semuanya harus sama. Bagaimana kalau berbeda? Ya, harus dipaksa supaya sama.
Jangan sekali-kali menyampaikan kritik kepada pemerintah jika tidak ingin mengalami hal-hal yang tidak mengenakkan, mungkin kira-kira demikian yang terjadi pada masa orde baru. Selama saya hidup di masa orde baru, belum pernah sekalipun ada pemberitaan tentang adanya protes atau demo yang dilakukan oleh masyarakat atas ketidakpuasannya terhadap pemerintah. Semuanya berjalan “tenang, aman dan damai.”
Suatu waktu, ketika saya masih kelas I SMA, guru Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) kami menugasi kami untuk membuat sebuah makalah tentang apa saja yang terkait dengan Indonesia. Tugas makalah tersebut harus kami selesaikan dalam waktu dua minggu.
Sungguh waktu yang amat singkat sebenarnya. Di samping kami harus mengerjakan dengan tulis tangan, karena belum ada komputer saat itu, kami juga begitu kesulitan untuk mencari bahan bacaan sebagai buku pendukung untuk penulisan makalah tersebut.
Hingga saya menemukan beberapa buku tulisan George Junus Aditjondro yang membahas tentang sisi lain (baca: berbagai pelanggaran hukum) yang dilakukan oleh Soeharto. Saya melahap semua buku-buku tersebut. Hingga pada akhirnya saya memutuskan untuk menulis makalah tentang Soeharto. Saya berpikir “toh” Soeharto adalah bagian dari Indonesia, jadi tidak melenceng dari tema.
Akhirnya, makalah yang saya beri judul “Melihat Soeharto dari Sudut Pandang Lain” itu selesai saya tulis. Betapa kaget dan takutnya guru PPKn kami membaca makalah tersebut. Menurut pengakuan guru PPKn kami tersebut, “saking” dianggap begitu berbahayanya makalah saya tersebut, sampai-sampai keberadaan makalah saya tersebut dibahas secara khusus pada rapat dewan guru.
Dan, untuk mendapatkan penjelasan tentang makalah tersebut, saya dipanggil ke kantor kepala sekolah. Lama saya di sana. Saya dinasehati, diberi masukan, hingga kami tiba pada sebuah kesimpulan: makalah saya tersebut harus dimusnahkan. Saya setuju makalah tersebut dimusnahkan, tetapi saya meminta supaya saya menyalin kembali isi makalah tersebut.
Namun tidak mendapat persetujuan dari sekolah. “Kalau informasi tentang makalah ini tercium sampai ke camat, habislah kita. Bisa-bisa sekolah kita ditutup nanti oleh pemerintah,” begitu kepala sekolah menyampaikan rasa khawatirannya. Saya, yang kebetulan sekolah di sebuah sekolah swasta, sangat mengerti ketakutan kepala sekolah tersebut. Akhirnya, makalah tersebut dimusnahkan dengan cara dibakar. Menyedihkan bukan?
Copyimage https://indoprogress.com
Selain masalah makalah tersebut, saya juga pernah mengalami masa yang sangat menakutkan dan menegangkan atas perlakuan rezim orde baru. Ayah dan ibu saya kebetulan bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Ayah saya seorang guru PPKn di sebuah SMP di daerah saya, dan ibu saya seorang guru SD.
Gaji guru yang cukup kecil ketika itu, membuat orang tua saya belum mampu membanguan atau membeli rumah baru. Kami terpaksa harus tinggal di perumahan sekolah yang kondisi rumah tersebut sebenarnya sudah kurang layak untuk ditempati. Namun, kami harus tinggal di sana. Bertahun-tahun lamanya kami melewatkan hari-hari kami di rumah yang disediakan oleh pemerintah tersebut.
Hingga pada suatu waktu, ketika pemilu tahun 1997 dilaksanakan, ayah saya ketahuan tidak memilih Golkar. Keharusan bagi seorang PNS untuk loyal kepada pemerintah, menjadi sedikit bias waktu itu. Ada sebuah kewajiban tidak tertulis pada waktu itu bahwa seorang PNS “wajib” memilih Golkar. Jika di kemudian hari ketahuan ternyata tidak memilih organisasi berlambang pohon beringin tersebut, maka bersiaplah untuk menghadapi “bencana.”
Memang setiap perhelatan pemilu pada orde baru di desa tempat saya tinggal, sepanjang yang saya ingat, Golkar selalu unggul dengan jumlah suara yang sangat besar. Jangankan kalah, bahkan Golkar beberapa kali meraup hampir 100 persen suara pemilih. Lalu yang menjadi pertanyaan, apakah para pemilih ketika itu memilih Golkar dengan tulus? Tidak. Banyak yang dipaksa. Banyak pula yang ditekan dan ditakut-takuti.
Pemilihan pada masa orde baru yang disebut LUBER (Langsung, Umum, Bebas, Rahasia) itu, sepertinya tidak LUBER. Menjelang hari-H pemilihan, camat, kepala desa, dan seluruh perangkatnya, beserta para PNS secara terang-terangan melakukan kampanye supaya para calon pemilih menusuk Golkar di bilik-bilik suara ketika pemilu digelar.
Kembali lagi ke ayah saya tadi, saya bingung, dari mana pemerintah tahu kalau ayah saya tidak memilih Golkar. Setelah dipanggil beberapa kali ke kantor kecamatan, akhirnya ayah saya mengakui bahwa dia telah memilih Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Ayah saya yang kebetulan adalah seorang guru PPKn, yang sedikit banyak tahu tentang peraturan dan perundang-undangan, beralasan bahwa tidak ada satu aturan pun yang mewajibkan PNS untuk memilih Golkar.
Hingga pada akhirnya, suatu malam, sekitar jam 22.00 WIB, sekelompok pemuda yang jumlahnya sekitar 50-an orang didampingi oleh kepala desa, dengan menaiki sebuah truk, datang menggedor-gedor pintu rumah yang kami tempati. Dengan berbagai jenis senjata tajam di tangan mereka, ayah saya diancam akan dibunuh.
Tidak tahu lagi bagaimana saya menggambarkan ketakutan yang saya rasakan ketika itu. Saya yang masih duduk di bangku SMP kala itu, tidak dapat berbuat apa-apa. Saya, ibu saya dan adik-adik saya, hanya bisa menangis sejadi-jadinya. Melihat berbagai jenis senjata tajam yang teracung ketika itu, saya membayangkan, pastilah kami sekeluarga akan “dihilangkan.”
Hingga pada akhirnya, ayah saya dibawa ke suatu tempat yang kami tidak tahu di mana lokasinya. Sekali lagi, tidak ada yang bisa kami lakukan waktu itu. Kami hanya pasrah dan berdoa kepada Tuhan yang kami sembah. Dengan satu harapan, ayah saya akan kembali lagi ke rumah. Bahkan kembali dalam bentuk mayat pun, kami sudah siap.
Berselang sekitar tiga jam, ayah saya kembali. Kami tidak tahu, ayah diapakan oleh massa tersebut. Dan ayah pun bungkam atas apa yang baru saja ia alami. Malam itu juga, kami harus pindah. Mungkin itu adalah hasil kesepakatan ayah saya dengan massa yang begitu beringas tersebut. Di tengah kesunyian malam kala itu, kami pindah. Kami angkati semua barang-barang yang bisa kami bawa.
Hingga sebuah masalah muncul, ke mana kami mau pindah? Namun kami bersyukur. Ada warga yang berbaik hati. Kami diberi kesempatan untuk tinggal beberapa waktu di sebuah gudang milik mereka yang lama sudah tidak digunakan. Kurang lebih setahun lamanya kami tinggal di gudang tersebut. Hingga akhirnya, kami dapat pindah ke rumah baru yang dengan bersusah payah berhasil dibangun oleh orang tua saya.
Bagi saya pribadi, orde baru memang kejam. Teramat kejam malah. Saya yakin sekali, setiap kita yang pernah hidup di alam orde baru, pasti mempunyai kisah tersendiri tentang kekejian yang dipraktekkan oleh rezim orde baru.
Oleh karenanya, lewat tulisan ini saya menghimbau, marilah kita secara bersama-sama menolak kebangkitan rezim orde baru yang sepertinya dengan sengaja sedang dimunculkan oleh pihak-pihak yang tidak senang Indonesia hidup di era demokrasi dan keterbukaan, yang telah kita nikmati bersama-sama sejak tumbangnya rezim orde baru tersebut.
Mari senantiasa menjaga dan merawat Indonesia. Menjaga dan merawat kebhinnekaan, persatuan, dan kesatuan bangsa Indonesia. Merdeka!!

Wednesday, September 27, 2017

Teori Big Bang (Ledakan Besar) dan Penjelasannya



Pengantar:
Dunia science sangat menarik. Apa yang menjadikan science sangat menarik? Karena didalam science kita akan menemukan banyak perspektif-perspektif baru yang bahkan tidak terpikirkan oleh kita sebelumnya. Dunia akan lebih luas dan semakin luas. Semakin kita terlibat didalam science semakin kita menyadari bahwa semakin banyak hal yang belum kita ketahui, semakin kita sadar bahwa luasnya bumi belum seberapa didalam jangkauan "Universe" bahkan "Multiverse"


The Big Bang

By: Archer Clear

Faktanya, bahwa "Big Bang" tidak terjadi hanya pada satu titik tunggal (single point), tapi terjadi dimana saja dalam waktu yang bersamaan. Artinya, sebelum the big bang terjadi, tidak ada yang namanya ruang, waktu dan materi, karena kondisi temperature yang begitu tinggi "In the first second after the universe began, the surrounding temperature was about 10 billion degrees Fahrenheit (5.5 billion Celsius), according to NASA"  dan fundamental particle seperti neutron, electron & proton berinteraksi satu dengan yang lainnya saat alam semesta mulai mendingin (cooler). 

Theory Big Bang tidak serta merta diterima begitu saja, adalah 
Georges Lemaître seorang ilmuan belgia dan juga seorang Catholic priest yang pertama kali mengajukan theory ini di tahun 1931, hingga Edwin Hubble yang kemudian membuktikan bahwa alam semesta kita tidak static tapi berkembang, dan dari pengamatan itu kemudian theory big bang menjadi semakin diterima. Memang ada semacam persoalan yang kemudian muncul, dan itu disebabkan oleh latar belakang Georges Lemaître yang seorang priest, namun dengan cukup terbuka Georges Lemaître menulis bahwa jelas sekali ada pemisahan yang tegas antara apa yang diyakininya sebagai seorang agamawan, dan apa yang dilakukannya sebagai seorang Ilmuan :

“As far as I can see, such a theory remains entirely outside any metaphysical or religious question. It leaves the materialist free to deny any transcendental Being… For the believer, it removes any attempt at familiarity with God… It is consonant with Isaiah speaking of the hidden God, hidden even in the beginning of the universe.”

Theory Big Bang memang masih menyimpan misteri yang cukup luas, untuk itu Ilmuan yang bermain pada wilayah quantum cosmology terus berupa mencari tau sejauh mungkin tentang apa yang menjadi penyabab utama dari big bang itu sendiri, atau dalam bahasa yang lebih simple, Big Bang adalah sebuah "Istilah" yang digunakan oleh Ilmuan untuk menggambarkan "ketidakmengertian" mereka secara utuh, tidak ada yang benar-benar mengetahui bagaimana awal dari alam semesta ini, namun menurut data yang sampai saat ini digunakan oleh para Ilmuan, bahwa radiasi sisa Big Bang bisa dibuktikan dengan menggunakan Instrument yang cukup canggih, seperti Cosmic Background Explorer (COBE), BOOMERanG experiment (Balloon Observations of Millimetric Extragalactic Radiation and Geophysics), NASA's Wilkinson Microwave Anisotropy Probe (WMAP) and the European Space Agency's Planck satellite.

http://www.physicsoftheuniverse.com/topics_bigbang.html
The Big Bang and the expansion of the universe
Source: http://www.physicsoftheuniverse.com/topics_bigbang.html
Planck's observations misalkan yang launching di tahun 2013 justru mengoreksi umur dari alam semesta itu sendiri yang tadinya di perkirakan sekitar 13.7 Billion, melalui Planck's observations ditemukan bahwa umur alam semesta ternyata sedikit lebih tua, yaitu 13.82 Billion. 

Sebenarnya jika membaca kritik anda, yang membual dan nampak bingung itu adalah pernyataan anda sendiri, Sebelum Big Bang, jelas bahwa ruang, waktu dan materi belum ada, lalu dari mana semua ini muncul?" pertanyaan ini seperti yang saya sampaikan diatas belum menemukan jawaban, karena memang belum ada bukti-bukti observasi yang valid untuk menjawab pertanyaan tersebut, bahwa faktanya alam semesta berkembang iya, jelas ini sudah dibuktikan sejak Hubble mengarahkan telescope ke langit dan menemukan bahwa alam semesta berkembang, dengan kecepatan yang luar biasa. 

Terkait pernyataan Einstein yang anda kutip "bahwa tidak ada materi yang bergerak melebihi kecepatan cahaya" sebenarnya adalah  tidak akurat, ini saya kutipkan pernyataan Einstein terkait speed of light he said that light is the maximum anything can travel within the universe, artinya tempat dimana Light bermain yaitu space bisa mengembang dengan kecepatan yang jauh melebihi kecepatan cahaya itu sendiri (space stretching in all direction). Space bisa melakukan apa saja, it can bend, it can twist, and it can stretch, jadi apapun object yang bermain diatas space tidak akan merubah karakter dari space itu sendiri. 

Einstein memang tidak menerima logika "Uncertainty" yang ditawarkan oleh Heisenberg, pernyataannya yang paling terkenal dan sering dikutip untuk menggambarkan ketidak setujuannya pada quantum mechanic adalah "god doesn't play dais with the universe" tapi seorang Niel Bohr justru menimpali pernyataan itu dengan pernyataan yang tidak kalah philosophynya "stop telling god what to do", dan jika membaca perkembangan science dewasa ini, harus diakui bahwa Einstein telah keliru, hukum-hukum yang bekerja pada wilayah sub-atomic particle memang bekerja sesuai dengan princip uncertainty-nya Heisenberg. 

Dan pada akhirnya, memang jawaban atas dari mana alam semesta ini berawal masih akan menjadi sesuatu yang menarik bagi para Ilmuan, mungkin kaum agamawan sudah cukup puas dengan jawaban yang mereka dapatkan dalam kitab suci, tanpa lelah atau berkeringat untuk membuktikan claim-claim yang ada dalam kitabnya, sementara science justru semakin memberikan perspektif-perspektif baru yang tanpa batas, dua wilayah ini akan senantiasa bertentangan, karena nature dan nurturenya sama sekali berbeda, science bekerja pada wilayah yang empiris, punya metode pembuktian yang jelas, sementara agama tidak membutuhkan metode apa-apa selain percaya, dan disanalah berakhirnya pencaharian kaum agama, dan boring nongkrong diatas menara gading.

Satu hal lagi, agama sejauh yang saya amati selalu menggunakan penemuan-penemuan science untuk memperkuat claim yang mereka sendiri tidak sanggup menawarkan satu metode pembuktian, maka benar apa yang pernah ditulis oleh Arthur C Clarke, bahwa agama hanya bisa main sabotase atas temuan-temuan science, dan tidak sanggup menghadirkan metode pembuktian diluar science. 


Big Bang dan theory Evolusi memang dua hal yang sanggup membuat banyak manusia tidak nyaman, karena menyampaikan kebenaran dengan fakta-fakta yang tidak terbantahkan. 



Baca Juga:
Penemuan Sains yang membuka mata Dunia

Wednesday, August 24, 2016

Catatan Kemanusiaan


Teman, sempatkanlah untuk membaca sedikit penggalan cerita hidup dan seruan ini.
Ketika saya berjalan di lorong jalan, seorang kakek yang hampir mati terbaring di sisi jalan. Terlihat kelaparan dan haus.
Ketika saya berjalan melewati terowongan jalan lainnya, saya dapati seorang pemuda tertidur lemas, pucat dan tidak dapat berbuat apa-apa.
Di malam hari, sebuah keluarga lengkap, ayah dan ibunya tidur di sisi jalan, anak-anaknya berbaring di dalam gerobak.
Seorang laki-laki kurang beruntung, yang kedua kakinya diamputasi, mengayuh kursi roda di tepi lampu merah, menjajakan koran.
Anak-anak kecil menggenggam ukulele, tidak tahu keberadaan bapak dan ibunya.
Seorang waria yang menangis.
Tukang sol sepatu yang diangkut ke mobil.
Penjual sayur kaki lima teriak histeris.
Anak yang bapaknya mati di medan perang.
Nenek yang kehilangan suami di '65.
Kaum yang rumah ibadahnya dibakar.
Seorang syiah yang dibunuh dan dilempari.
Anak-anak yg memapah karung berisi barang bekas.
Seorang pengidap AIDS yang dijustifikasi dan dijauhi.
Beberapa golongan yang dihakimi sebagai abnormal atas orietasi seksual.
Yang berjas elit, sibuk membicarakan politik.
Yang berkantong tebal mempelihara jiwa hedonisnya.
Yang sejahtera menjaga asupan gizi anaknya.
Pemuka Agama bersyiar kemana-mana, ortodoks satu-satunya jalan, suni yang diterima di surga, protestan adalah awal kebenaran, budha adalah kebenaran akan pemahaman, hindu adalah sejatinya akan kenikmatan, katolik adalah cahaya yang bersinar.
Engkau berbicara di media bahwa solusi kesejahteraan bertumpu pada konservatif, komunism, kapitalis, fasis, nazism, syari'ah.
Engkau berbicara bahwa hidup hanya sekali, perbanyak emasmu, perbanyak berlianmu, perbanyak tanah dan tambakmu.
Engkau berbicara bahwa hanya kitalah yang menginjakkan kaki di surga, atas nama Tuhan dan agama yang kita anut, mereka berbeda keyakinan dengan kita. Bahwa atas nama kebenaran hanya ada pada keyakinan golongan kita.
Engkau berseru bahwa demi mengejar imperialis marilah kita menciptakan nuklir untuk keamanan, kita mencetak tentara sebanyak mungkin, kita ciptakan selongsong peluru, perbanyak produksi mesiu.
Rasa kemanusiaan kami akhirnya buram, keserakahan sudah meracuni pikiran kami, kami berpikir terlalu banyak dan merasa terlalu sedikit, pengetahuan kami membuat kami sinis, surga memburamkan dunia kami, perbedaan paham membangun sekat kami, jalan hidup kami sebenarnya indah tapi kami telah kehilangan jalan.
Saya, sebuah titik dari kumpulan milyaran manusia, ingin menghancurkan kegamangan ini.
Anda!
Dalam diri anda, ada banyak harapan, harapan akan rasa kemanusiaan, harapan akan cahaya yang menyinari seluruh ruang mahluk, harapan akan dunia yang lebih baik, harapan akan persatuan tanpa sekat.
Anda adalah manusia yang didalam diri anda masih tertanam rasa cinta, kemanusiaan, iba. Anda bukan seorang pembenci, bukan seorang dengan rasa egoisme yg tinggi, bukan perampas hak.
Anda sejatinya tidak suka perbedaan, tidak suka pertentangan, tidak suka akan polemik yang tidak berkesudahan.
Kita ingin membantu satu-sama lain, memundak yang lelah berjalan, menggotong beban dan menghilangkannya dengan bersama.
Kita ingin berjuang akan kebebasan, kebebasan semua umat.
Kita ingin sebuah Bumi yang utuh, ingin menghapuskan garis-garis pemisah yang sebelumnya kita gambar.
Didalam kebersamaan yang erat pada akhirnya kita akan menatapi penderitaan sesama, senjata yang sudah terlanjur kita rakit, gumpalan-gumpalan mesiu, ideolodi-ideologi yang kita bentuk, berbagai cerita surga yang selalu kita bicarakan, Emas dan berlian yang kita tumpuk.
Dan kita berpikir, untuk apa "semua" ini?





CC:

Wednesday, December 30, 2015

Catatan Ringkas : Perbedaan Prinsip Kemanusiaan dan Prinsip Agama

KEMANUSIAAN:
Sampai sekarang saya yakin bahwa prinsip kemanusiaan jauh lebih utama daripada prinsip standar moral, tata-aturan sosial dan etika yang diatur oleh doktrin agama itu sendiri.
Diatas prinsip kemanusiaan anda tidak akan menemukan berbagai sekat dan perbedaan karena esensinya jelas, "kemanusiaan" adalah bagaimana anda memandang manusia dan memperlakukan sesama manusia setara dgn anda. 
Kita manusia adalah "SATU".



Diatas standar agama?

Ya seperti yang anda lihat.
Setiap detik, setiap hari, setiap bulan, setiap tahun anda tidak akan henti-hentinya dihadapkan oleh polemik yang terjadi atas label agama.
Mengapa polemik atas nama agama bisa terjadi?
Karena memang semenjak dari awal masing-masing agama meletakkan fondasi etika, moral dan nilai sosial yang berbeda-beda dgn agama lainnya.
Anda akan menemui standar aturan dan doktrin yang berlaku dan berbeda-beda diantara masing-masing agama.
Seorang yang korup berdalih atas nama agama.
Seorang pelaku pedofilia berdalih atas nama agama.
Seorang teroris berdalih atas nama agama.
Seorang yang nikah siri berdalih atas nama agama.
Seorang yang memperbudak manusia lainnya berdalih atas nama agama.
Seorang yang mengkafirkan sesamanya berdalih atas nama agama.
Seorang yang minun air kencing unta berdalih atas nama agama.
Seorang pengemplang dana umat berdalih atas nama agama.
Bahkan dua orang yang seharusnya saling menyayangi sekalipun rela saling meninggalkan hanya karena atas nama agama.
Tidak ada seorang-pun pelaku kekerasan dan tindakan amoral berdalih atas nama "kemanusiaan".
Gandhi turun ke jalan bukan atas nama agama.
Abraham lincoln menentang perbudakan bukan atas nama agama.
Nelson Mandela menentang apartheid bukan atas nama agama.
Begitu halnya dengan Marthin L King.
Satu lagi.
Yesus sekalipun menentang kesewenangan rezim romawi bukan atas nama agama!


Wednesday, October 7, 2015

Yahudi dan Israel


Akhmad Sahal 

Kisah kelahiran zionisme pada dasarnya adalah kisah tentang cinta kaum Yahudi terhadap Eropa modern yang bertepuk sebelah tangan. Pendiri utama gerakan ini, Theodor Herzl (1860-1904), wartawan Yahudi kelahiran Hungaria, pada awalnya adalah pemeluk teguh asimilasi, pembauran Yahudi ke dalam masyarakat Eropa modern. Sampai suatu ketika ia merasa Eropa sejatinya menampik cintanya. Herzl, meyakini, sebagaimana sebagian besar Yahudi Eropa saat itu, bahwa satu-satunya jalan menuju emansipasi buat Yahudi, pembebasan dari diskrimnasi dan keterkungkungannya dalam kehidupan ghetto, adalah dengan mengadopsi semangat Pencerahan dan the idea of progress yang dilantunkan oleh modernitas. 

Caranya dengan mengikuti seruan Napoleon Bonaparte. Penaklukan Napoleon di pelbagai penjuru Eropa pada abad 18 membantu penyebaran ide-ide Revolusi Perancis yang didasarkan pada proyek Pencerahan, terutama tentang kesetaraan “Hak-Hak Manusia dan Warga Negara." Pertanyaan Napoleon kepada komunitas Yahudi di Eropa Barat saat itu, jika mereka mendapatkan hak-hak hukum dan politik yang setara dengan warga Kristen dan sekular, apakah mereka bersedia keluar dari ghettonya yang eksklusif dan melepaskan identitas primordial keYahudian untuk menjadi individu-individu modern? Bisakah mereka melepaskan diri dari loyalitas mereka kepada otoritas rabbi dan sepenuhnya loyal kepada negara Perancis yang sekular? 

Dengan tawarannya itu, Napoleon mungkin saja punya maksud melenyapkan identitas keYahudian dengan cara melebur mereka ke dalam masyarakat Eropa entah dengan menjadi sepenuhnya sekular atau berkonversi ke Kristen. Akan tetapi, respon kaum Yahudi justru sangat antusias. Buat mereka, Napoleon telah membuka jalan bagi emansipasi untuk kaum Yahudi. Mereka meyakini Pencerahan bukan hanya tidak bertentangan dengan keYahudian, melainkan justru menguntungkan Semboyan mereka yang terkenal: lihyot yahudi ba bait, wa adam ba khutz (menjadi Yahudi di rumah dan manusia di luar). 

Kaum Yahudi di Perancis, misalnya, memberikan justifikasi peleburan identitas keYahudian dan kePerancisan dengan melihat Revolusi Perancis 1789 sebagai peristiwa mesianik dalam sejarah Yahudi modern, dengan menganggap liberte, egalite, fraternitesebagai hukum Sinai kedua. Mereka mendefinisikan diri mereka sebagai “Israelites de France.” Hal yang sama juga terjadi di Jerman, tempat di mana gerakan Pencerahan Yahudi (Haskalah) yang dipelopori oleh Moses Mandelssohn justru tumbuh dengan subur. 

Para penggerak Reform Judaism di Jerman yang berupaya memposisikan agama Yahudi sebagai kredo etika universal begitu loyal terhadap tanah kelahirannya dan menyebut Berlin sebagai Jerusalem baru, “tanah air tempat di mana kita menautkan diri dengan ikatan cinta yang keras kepala.” Ungkapan doa yang diwariskan turun temurun, l'shana habaa b'Yerushalaim (tahun mendatang di Yerusalem) dilihat hanya sebagai bagian dari ungkapan ritual yang sama sekali tidak memuat program politik untuk memulihkan kembali tatanan politik di Yerusalem. 

Dengan menjadi pemeluk teguh ide-ide Pencerahan seperti individualisme, rasionalisme dan sekularisme, mereka yakin bisa “persoalan Yahudi” yang mendera mereka mereka selama ratusan tahun hidup dalam diaspora di Eropa akan bsia dipecahkan secara tuntas. Kini identitas keyahudian tidak lagi mereka definisikan dalam kerangka tradisional, yakni berdasar pada kepatuhan kepada halakhah (hukum Yahudi), melainkan berdasarkan Pencerahan, yakni sebagai individu dengan kebebasan dan kekhasannya sendiri. 

Demikianlah, Theodor Herzl menyokong penuh integrasi Yahudi ke dalam masyarakat Eropa. Sampai kasus Dreyfus mencuat pada 1882. Sebagai koresponden koran Wina, Neue Freie Presse, di Paris, Herzl meliput kasus Dreyfus (Dreyfus affair). Afred Dreyfus, kapten berdarah Yahudi yang sepenuhnya asimilasionis, dituduh oleh publik Perancis menjadi mata-mata bagi Jerman dan kemudian dipecat secara tidak hormat dari dinas militer Perancis. Tuduhan itu berdasarkan anggapan bahwa meskipun sudah sepenuhnya menjadi warga negara Perancis, Dreyfus betapapun adalah seorang Yahudi, yang tak mungkin loyal terhadap negaranya. 

Yang membuat Herzl masygul, kasus Dreyfus justru terjadi di Paris, tempat lahirnya Pencerahan. Lagipula, ttidak lama sebelum itu, yakni pada 1871, progrom dan persekusi terhadap Yahudi dalam skala masif terjadi di Rusia. 

Kasus ini membuat Herzl berkesimpulan, meskipun bangsanya sudah tolah dalam upayanya untuk ter-Eropa-kan, mereka tetap saja menjadi target kebencian antisemit oleh masyarakat Eropa, yang notabene sudah termodernkan. Atas dasar itulah Herzl lalu menegaskan bahwa "persoalan Yahudi" di Eropa bukanlah persoalan kultural, misalnya karena faktor prasangka atau kesalahpahaman masyarakat Kristen Eropa, yang bisa diatasi dengan pengetahuan rasional. 

Selain itu, Pencerahan ternyata juga melahirkan problem baru buat kaum Yahudi. Karena, selain melahirkan individualisme, ia juga memunculkan ide tentang nasionalisme modern. Tapi di situlah letak masalahnya. Ketika orang-orang Yahudi di pelbagai negara Eropa bertransformasi menjadi individu-individu modern dengan identitas berdasarkan ide-ide kosmopolitan dan universal dari Pencerahan, masyarakat Eropa justru sibuk membangun nation-statenya sendiri-sendiri. Meskipun orang Yahudi sudah berusaha sepenuh hati menjadi bagian dari Eropa, ia tetaplah the other, sang liyan di mata publik Kristen Eropa. 

Dalam karya masyhurnya yang terbit pada 1896, Der Judenstaat (Negara Yahudi), Herzl menyatakan bahwa akar masalahnya yahudi terletak pada kehidupan diaspora Yahudi itu sendiri: kaum Yahudi hidup terpencar--pencar di pelbagai belahan dunia, tanpa punya negara yang menjadi “rumah” mereka sendiri. Diaspora yang sudah berlangsung ratusan tahun ini, menurut Herzl, mengindikasikan bahwa Yahudi terus hidup dalam apa yang ia sebut sebagai "abnormalitas." Kondisi abnormal inilah yang menyebabkan mereka rentan terhadap serangan antisemitisme, bahkan pada masa modern sekalipun. 

Bagi Herzl, solusi untuk melenyapkan antisemitisme tidak bisa lain adalah dengan menyudahi abnormalitas kehidupan diaspora tersebut melalui proses normalisasi kehidupan bangsa Yahudi. Caranya dengan keluar dari Eropa dan mendirikan negaranya sendiri. 

Menarik untuk dicatat, terdapat perbedaan pendapat di kalangan Zionis sendiri mengenai solusi Herzl: apakah yang ia maksud adalah membangun "negara Yahudi" sebagaimana umum dipahami, atau "negara untuk orang Yahudi." Perbedaan pandangan ini menyangkut buku Herzl sendiri, Der Judenstaat, yang memang lebih tepat diartikan "negara untuk orang Yahudi." Pada yang pertama, negara yang dimaksud haruslah berkarakter yahudi dan berlokasi di Palestina. Sedangkan pada yang kedua, negara yang dibayangkan Herzl tidak mesti berkarakter Yahudi dan tidak mesti berlokasi di Palestina. Itulah sebabnya ia setuju dengan tawaran pemerintah kolonial Inggris pada awal abad 20 untuk menjadikan Uganda sebagai tempat bagi negara Zionis (tapi tawaran ini ditolak mentah2 oleh kalangan Zionis yang lain). 

Lepas dari itu, bisa kita simpulkan bahwa Zionisme bertolak dari kehendak Yahudi untuk melakukan negasi terhadap diaspora (shelilat hagalut), karena kehidupan diaspora dianggap abnormal. Zionisme adalah upaya menormalkan kehidupan bangsa Yahudi agar menjadi bangsa normal, yakni bangsa yang punya negaranya sendiri sebagaimana bangsa-bangsa lain. (Dalam arti tertentu, normalisasi bangsa Yahudi yang mendasari Zionisme adalah pemberontakan terhadap anggapan bangsa Yahudi sebagai bangsa terpilih, kaeran Zionisme justru menghendaki bangsa Yahudi sebagai bangsa biasa sebagaimana bangsa-bangsa lain) 

Penentangan dari Kiri dan Kanan 

Tapi betulkah asimilasi Yahudi adalah ihtiar yang sias-sia buat kaum Yahudi? Betulkah diaspora merupakan kehidupan abnormal buat Yahudi? 

Amos Elon, sejarawan Israel yang melacak kiprah Yahudi di Jerman dari awal abad 18 sampai naiknya Hitler pada 1933 dalam bukunya, The Pity of it All, dengan tegas membantah klaim Herzl tersebut. Menurut Elon, masyarakat Yahudi Jerman sam sekali tidak menganggap diri mereka sebagai imigran atau tamu di negeri asing. Bahkan, emansipasi politik yang mereka nikmati sebagai buah dari Pencerahan menghasilkan lonjakan prestasi yang mencengangkan dalam ranah budaya, sains, seni, dan jurnalisme. Kerekatan antara identitas Yahudi dan Jerman ini baru putus setelah Hitler berkuasa pada 1933. 

Dengan kata lain, tidak semua kalangan yahudi setuju dengan asumsi Zionisme tersebut. Dan mereka yang menampiknya berasal dari kiri maupun kanan, sosialis maupun liberal. 

Tokoh dan pemikir sosialisme berdarah Yahudi seperti Rosa Luxemburg dan Leon Trotsky, misalnya, mengakui bahwa kebencian dan serangan berwatak antisemit memang nyata-nyata ada. Akan tetapi mereka menolak solusi zionis untuk mengatasi antisemitisme, yaitu dengan mendirikan negara Yahudi di Eretz Yisrael. Alasannnya, hal ini justru membawa Yahudi kembali terjebak dalam nasionalisme etnis yang sempit, yang nyaris tidak ada bedanya dengan ghetto-ghetto yang mereka huni sebelum era Pencerahan. 

Bagi Luxemburg, derita Yahudi dalam diaspora tidak semestinya membuat mereka hanya berjuang untuk kelompoknya saja, menjadi parokial dan eksklusif, melainkan justru mesti me-universalisasi-kan perjuangannya sehingga mencakup kelompok lain yang tersisihkan dan tertindas di manapun di dunia. Simak ungkapan terkenal Rosa Luxemburg ini: 

"Why do you pester me with Jewish troubles? I feel closer to the wretched victims of the rubber plantations of Putumavoor Negroes in Africa...I have no separate corner in my heart for the ghetto." 

Kalangan Yahudi sosialis menyerukan agar perjuangan melawan antisemitisme diintegrasikan dengan perjuangan kaum proletar melawan kapitalisme karena di mata mereka, persoalan Yahudi bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan suatu gejala sosial yang terkait erat dengan kapitalisme. Begitu kapitalisme runtuh dan sosialisme berdiri, antisemitisme akan hilang dengan sendirinya. 

Pada tingkat tertentu, argumen kaum sosialis ini bertolak dari esai Karl Marx tentang persoalan Yahudi, Zur Judenfrage yang ia tulis hampir setengah abad sebelum zionisme lahir, yakni pada 1843. Dalam esai tersebut, Marx sebenarnya menolak pandangan asimilasionis Bruno Bauer yang berpendapat, emansipasi kaum Yahudi baru bisa tercapai kalau mereka menanggalkan identitas keagamaannya yang partikular dan menerima prinsip-prinsip liberalisme: mejadi individu yang otonom dan mengakui legitimasi negara sekuler. 

Dalam pandangan Marx, emansipasi semacam ini adalah emansipasi semu, karena hanya terjadi pada ranah suprastruktur, hanya emansipasi legal dan politik, bukan emansipasi kemanusiaan secara utuh. Menurut Marx, kaum Yahudi baru mengalami emansipasi kalau mereka dibebaskan dari apa yang oleh Marx disebut sebagai “Judaisme praktis,” yakni kepentingan-diri, huckstering, dan uang. Dengan kata lain, kapitalisme. Tulis Marx, “emansipasi Yahudi adalah emansipasi seluruh masyarakat dari Judaisme.” Selain dari sayap kiri, penolakan terhadap zionisme juga disuarakan oleh kaum Yahudi liberal, seperti filosof Hermann Cohen dan Karl Popper. Hermann Cohen (1842-1918), misalnya, adalah seorang filosof Yahudi Jerman yang secara sistematis merumuskan agama Yahudi sebagai agama akal, sebagai monoteisme murni dalam bentuk hukum-hukum moral yang universal.

Di sini pengaruh konsep kategori imperatif dan otonomi moral Immanuel Kant kuat terasa. Tapi Cohen menolak klaim Kant bahwa agama Yahudi tidak bisa menjadi dasar bagi moralitas universal hanya karena dia bersumber dari luar manusia (heteronom). Menurut Cohen, justru posisi agama Yahudi sebagai monoteisme murni sejalan dengan universalisme Kantian. 

Cohen menafsirkan keterpilihan bangsa Yahudi sebagai tugas ketimbang privilese, yakni tugas untuk merealisasikan kenyataan mesianik, yakni kehidupan berbasis perdamaian dan kemanusiaan. Cohen melihat sejarah agama Yahudi sebagai proses “spiritualisasi” yang bergerak dari partikularisme ke universalisme. Hancurnya kedualatan politik Yahudi, kondisinya sebagai wandering Jews yang tak bernegara dan tak berumah menunjukkan bahwa identitas keyahudian bukanlah dimaksudkan sebagai identitas eksklusif untuk etnik tertentu saja, melainkan sebagai etika universal. Atas dasar itulah Cohen menolak zionisme. 

Sementara itu,Karl Popper, filosof liberal berdarah Yahudi yang terkenal dengan bukunya The Open Societies and Its Enemies, menolak nasionalisme etnis yang menjadi dasar zionisme, yang menurutnya bertentangan dengan prinsip-prinsip masyarakat terbuka yang kosmopolitan. Popper mengakui kegagalan asimilasi Yahudi di Eropa yang berpuncak pada tragedi Holocaust. Akan tetapi baginya, kegagalan itu mestinya membawa kaum Yahudi untuk melampaui identitas kebangsaan yang partikular dan bersandar pada identitas kosmopolitan. 

Memang tidak semua kaum Yahudi liberal atau sosialis serta merta menganut kosmopolitanisme dan menolak zionisme. Harap diingat, sebagian founding fathers negara Israel adalah juga penganut sosialisme yang ingin merealisasikan prinsip-prinsip sosialisme dan mengkombinasikannya dengan mesianisme sekular seperti tercermin dalam kibbutzim. Sementara pemikir liberal semacam Isaiah Berlin mendukung zionisme bukan atas dasar menegasikan diaspora Yahudi atau menghentikan antisemitisme seperti dikemukakan Herzl, melainkan karena bagi Berlin, realisasi kebebasan mengandaikan adanya “rumah” sebagai tempat berpijak. (Menurut saya, argumen ini mestinya berlaku tidak hanya untuk bangsa Yahudi melainkan juga bangsa Palestina). 

Zionisme Politik VS Zionisme Kultural 

Pengkubuan/perselisihan yang terjadi di kalangan Yahudi dalam kaiatannya dengan zionisme tidak hanya terjadi antara kaum zionis dan para penentangnya. Bahkan di kalangan zionise sendiri terjadi pertentangan yang tajam antara mereka yang mengedepankan pendekatan politik dan yang memilih jalur kultural. Yang pertama dan lebih dominan bisa kita lihat pada Theodor Herzl, dan versi ekstrimnya pada Vladimir Jabotinsky, ideololog partai Likud. Sedangkan yang kedua diwakili oleh Ahad Haam dan Martin Buber. 

Seperti sudah disinggung di atas, persoalan Yahudi muncul karena bangsa Yahudi hidup secara abnormal. Zionisme bagi Herzl tidak lain adalah proyek menormalkan kehidupan mereka dengan cara mengumpulkannya dalam satu ikatan kebangsaan (ingathering of the exiles). Misi ini tidak akan tercapai kecuali dengan mendirikan negara Yahudi. Dengan cara itulah zionisme hendak menciptakan “Yahudi baru,” yakni Yahudi yang hidup normal seperti bangsa-bangsa lain. Tidak heran kalau kemudian kaum zionis mazhab ini begitu terobsesi dengan otot dan kejantanan, yang oleh karib Herzl bernama Max Nordau disebut sebagai Jewry of muscle. 

Tapi pada saat yang sama, Herzl juga melihat zionisme sebagai proyek pemberadaban yang mengemban mission civilicatrice. Ini terlukis dalam novel utopianya,The Old-New Land (1902). Novel ini berkisah tentang Friedrich Loewenberg, Yahudi asal Wina yang melancong ke Macedonia dan mampir ke Yerusalem. Di sana ia menemukan betapa Yerusalem adalah tanah yang tandus tak terurus, dengan perkampungan Arab yang kumal. Namun betapa takjub Loewenberg ketika ia singgah sekian puluh tahun lagi, karena Yerusalem berhasil disulap oleh kaum zionis sebagai metropolitan yang bersih, dan makmur. Yang ada di benak Herzl, negara Israel akan menjadi seperti Swis. Israel, kata Herzl, akan menjadi “bagian dari benteng Eropa berhadapan dengan Asia, markas peradaban Barat untuk menangkal barbarisme Timur. 

Di tanah yang baru ini, masih menurut Herzl, Yahudi tidak lagi menjadi target serangan antisemitisme seperti terjadi di Eropa, di mana Yahudi ditampilkan sebagai sosok yang “kotor, licik, parasit, lembek.” Karena “Yahudi baru” ini tampil sebagai sosok yang “rasional, kuat, beradab.” 

Dengan kata lain, di Eropa, Yahudi diperlakukan sebagai “yang lain.” Namun di tanah Israel, Yahudi bermetamorfosis menjadi Eropa yang memosisikan Arab sebagai sebagai “yang lain.” Untuk menghapus identitas ke-“yang lain” annya di Eropa, Yahudi eskit dari Eropa. Di luar Eropa is menjadi Eropa. Jika di “Barat” Yahudi adalah “Timur,” maka di Timur ia menjadi “Barat.” 

Dua unsur utama zionisme politik ini (pemujaan terhadap supremasi kekuatan fisik dan persepsi diri sebagai pembawa peradaban Barat) pada akhirnya menjelaskan kenapa bangsa Arab/Palestina sama sekali tak muncul dalam narasi zionisme? Lihat saja semboyan mereka tentang Palestina, “tanah tanpa bangsa untuk bangsa tanpa tanah.” Atau simak ungkapan Golda Meir, mantan perdana mentri Israel, “tidak ada yang namanya rakyat palestina.” Di sinilah letak ironi zionisme: ia lahir sebagai respon terhadap “persoalan Yahudi” di Eropa, tetapi ia memunculkan “persoalan Arab, ” atau meminjam judul buku Edward Said, the question of Palestine. 
Berbeda halnya dengan zionisme kultural yang dipelopori oleh Ahad Haam, tokoh zionis asal Rusia yang hidup semasa dengan Herzl. Ahad Haam mengartikan upaya kembali ke tanah zion lebih dalam kerangka spiritual dan bukan politik, yakni sebagai manifestasi dari renaisans kultural Yahudi. Di mata Haam, pertautan bangsa Yahudi dengan Zion sesungguhnya berada pada level moral dan spiritual, sebagai jalan untuk merealisasikan nilai utama keyahudian, yakni Tikkun Olam (memperbaiki dunia). Inilah yang menjelaskan kenapa sejak awal Haam bersebarangan dengan Herzl. Bahkan dalam Kongres Zionis pertama pada 1898 mereka berdua tidak saling menyapa. 

Sejalan dengan Haam, Martin Buber juga menolak zionisme politik Herzl dan Nordau. Penolakan Buber bertolak dari penghargaannya terhadap eksistensi bangsa Arab di Palestina dan hasratnya menjalin relasi yang otentik dengan mereka, dalam kerangka relasi I-Thou. Bagi Buber, berdirinya negara Israel tidak akan menyelesaikan persoalan Yahudi manakala kaum Yahudi mengabaikan fakta bahwa tanah Israel pada dasarnya milik dua bangsa, masing-masing dengan klaimnya sendiri. Negara yang berdiri di atsa tanah tersebut mestilah berbentuk negara dwi-bangsa, bukan negara Yahudi. Atas dasar itulah Buber menentang The Law of Return dan upaya pemerintah Israel untuk mendatangkan imigran Yahudi secara besar-besaran untuk mencapai status mayoritas. 

Dengan paparan di atas, saya mencoba menunjukkan betapa pro daa kontra di kalangan Yahudi terhadap Zionisme ternyata berlangsung dengan tajam dan tak jarang saling menafikan satu sama lain. Bahkan di kalangan internal kubu Zionis, pertentangannya juga sangat keras. Setidaknya itu terjadi sampai akhir 1940an, ketika akhirnya negara Israel berdiri pada 1948. 

Tapi seperti apa pertengkaran internal di kalangan Yahudi mengenai zionisme setelah negara Israel berdiri? Dan bagaimana setelah Israel menang telak atas negara2 Arab pada Perang Enam Hari pada 1967?

Monday, October 5, 2015

Penjelasan Mengenai Rasisme

Rasisme akan selalu ada didalam proses evolusi manusia.
Pada buku Richard Dawkins, "The Selfish Gene", didalam DNA manusia sebenarnya secara alamiah telah terdapat sifat selfish (keegoisan).
Selfish ini pada umumnya yakni adanya kecondongan manusia untuk mementingkan kepentingan kelompoknya baik yg satu ras maupun sesama anggota keluarga dan mengabaikan kepentingan ras yang lain.
Begitu juga dibuku Charles Darwin, "The Origin of Species", terdapat banyak istilah Seleksi Alam, Perkawinan Sel Aktif, dan Perjuangan untuk bertahan hidup diantara ras-ras.
Pada prinsipnya, Charles Darwin mengutarakan bagaimanapun manusia telah mengelompokkan diri kedalam sebuah ras dan adanya tindakan untuk memperjuangkan ras nya untuk dapat bertahan hidup atas proses seleksi alam.



Didalam perbedaan ras inilah sifat Rasisme tumbuh dan berekembang karena bagi sekelompok ras memandang bahwa ras nya lebih unggul dibandingkan ras yang lainnya.
Sementara dibuku Adolf Hitler, "Mein Kampf" sebagian terinspirasi terhadap karya Charles Darwin, bahwa hidup ini adalah perjuangan diantara ras-ras, sehingga pada kenyataannya Adolf Hitler berusaha memusnahkan kaum Jahudi yang dianggap sebagai kaum lemah dengan tema rasisme.
Jadi saya tidak heran, jika yang Tionghoa harus menikah dgn sesama Tionghoa, yang batak harus menikah dgn sesama batak, yang padang harus menikah dgn sesama padang, dll.
Hanya saja, saya kira kita masih punya kemampuan untuk mengusung kembali prinsip "kemanusiaan" yang kita punya, sehingga kita dapat memandang setiap manusia setara hingga rasisme itu perlahan hilang.
CMIIW.



Friday, June 19, 2015

Humanism


Throughout recorded history there have been non-religious people who have believed that this life is the only life we have, that the universe is a natural phenomenon with no supernatural side, and that we can live ethical and fulfilling lives on the basis of reason and humanity. They have trusted to the scientific method, evidence, and reason to discover truths about the universe and have placed human welfare and happiness at the centre of their ethical decision making.
Today, people who share these beliefs and values are called humanists and this combination of attitudes is called Humanism. Many millions of people in Britain share this way of living and of looking at the world, but many of them have not heard the word ‘humanist’ and don’t realise that it describes what they believe.
It is one of the main purposes of the British Humanist Association to increase public awareness of what Humanism is, and to let the many millions of non-religious people in this country know that, far from being somehow deficient in their values, they have an outlook on life which is coherent and widely-shared, which has inspired some of the world’s greatest artists, writers, scientists, philosophers and social reformers, and which has a millenia-long tradition in both the western and eastern worlds.
We also hope to give greater confidence to people whose beliefs are humanist by offering resources here and elsewhere that can develop their knowledge of humanist approaches to some of the big ethical, philosophical and existential questions in life.

Defining ‘Humanism’

Roughly speaking, the word humanist has come to mean someone who:
  • trusts to the scientific method when it comes to understanding how the universe works and rejects the idea of the supernatural (and is therefore an atheist or agnostic)
  • makes their ethical decisions based on reason, empathy, and a concern for human beings and other sentient animals
  • believes that, in the absence of an afterlife and any discernible purpose to the universe, human beings can act to give their own lives meaning by seeking happiness in this life and helping others to do the same.
However, definitions abound and there are longer and shorter versions. The fullest definition to have a measure of international agreement is contained in the 2002 Amsterdam Declaration of the International humanist and Ethical Union. Some others include:
…a commitment to the perspective, interests and centrality of human persons; a belief in reason and autonomy as foundational aspects of human existence; a belief that reason, scepticism and the scientific method are the only appropriate instruments for discovering truth and structuring the human community; a belief that the foundations for ethics and society are to be found in autonomy and moral equality…
– Concise Routledge Encyclopedia of Philosophy
An appeal to reason in contrast to revelation or religious authority as a means of finding out about the natural world and destiny of man, and also giving a grounding for morality…Humanist ethics is also distinguished by placing the end of moral action in the welfare of humanity rather than in fulfilling the will of God.
– Oxford Companion to Philosophy
Believing that it is possible to live confidently without metaphysical or religious certainty and that all opinions are open to revision and correction, [Humanists] see human flourishing as dependent on open communication, discussion, criticism and unforced consensus.
– Cambridge Dictionary of Philosophy
That man should show respect to man, irrespective of class, race or creed is fundamental to the humanist attitude to life. Among the fundamental moral principles, he would count those of freedom, justice, tolerance and happiness…the attitude that people can live an honest, meaningful life without following a formal religious creed.
– Pears Cyclopaedia, 87th edition, 1978
Rejection of religion in favour of the advancement of humanity by its own efforts.
– Collins Concise Dictionary
A non-religious philosophy, based on liberal human values.
– Little Oxford Dictionary








Source
Humanism.org
https://humanism.org.uk/humanism/

 
Design by Jery Tampubolon | Bloggerized by Jery - Rhainhart Tampubolon | Indonesian Humanis