Friday, November 1, 2013

Iring-Iringan Awan Kelabu di Atas Prabowo


INDONESIA 2014 - Prabowo Subianto nampaknya sengaja membangun kesan bahwa ia adalah pemimpin yang berani, tegas dan kuat. Brand image ini akan bisa memenangkan hati banyak calon pemilih, sekaligus menjustifikasi banyak kasus hak asasi manusia di masa lalu.

Prabowo Subianto Menyesal Tak Lakukan Kudeta.
Berita ini sempat mengejutkan banyak orang ketika dilaporkan sejumlah media, 18 Desember yang lalu.
Ini bukan kabar burung. Prabowo Subianto memang mengeluarkan penyesalan itu dalam acara kuliah umum yang diselenggarakan Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS) di hotel mewah Four Seasons, Jakarta. Di depan ratusan peserta, Prabowo berkata: “Saya Letnan Jenderal mantan Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat yang hampir kudeta. Menyesal juga saya nggak jadi kudeta.”
Tentu saja pernyataan itu tak disampaikannya secara sungguh-sungguh. Hadirin di gedung itupun tertawa mendengarnya. Tapi, kata siapa, itu tak mengandung kebenaran?
Mereka yang mengikuti politik Indonesia, tentu langsung teringat pada apa yang terjadi di awal pemerintahan reformasi 1998.
Ketika itu sebagai Pangkostrad yang membawahi ribuan prajurit, Prabowo memang diisukan akan melakukan kudeta segera sesudah Soeharto jatuh digantikan BJ Habibie.
Sampai saat ini ada banyak versi beredar. Yang pasti Habibie memang memberhentikannya sebagai Pangksotrad. Sejak itu karier militer Prabowo – yang semula sangat cemerlang - terus menurun, sampai akhirnya ia dipensiunkan dini pada tahun yang sama.
Tak bisa dihindari kelakar Prabowo itu berlanjut pada penjelasan. Keesokan harinya, Sekjen Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Ahmad Muzani, merasa harus meluruskan pernyataan itu.
Sebagaimana dikutip Detik.com, Muzani menyatakan: ”Soal menyesal tak kudeta itu hanya bercandaan saja, karena situasi 1998 beliau didorong banyak pihak untuk kudeta, kemudian beliau tidak melakukan itu. Sekarang orang-orang bilang, coba kalau waktu itu kudeta. ”
Muzani juga menuturkan bahwa sebenarnya ada alasan kuat bagi Prabowo untuk melakukan kudeta. Hanya saja, kata Muzani lagi, sebagai prajurit yang berpegang teguh pada UUD 1945 dan Sapta Marga, pimpinan Gerindra itu memilih tak melakukan perebutan kekuasaan, karena “hasil kudeta pada akhirnya akan dikudeta juga.”
Pembicaraan tentang masa lalu Prabowo nampaknya memang belum akan berhenti. Namun, kisah hidupnya akan terus diulang bukan sekadar lantaran kebenaran sejarah. Setidaknya saat ini, segenap ucapan dan tindakan Prabowo mudah menarik perhatian karena bukankah ia adalah salah satu calon terkuat untuk menjadi Presiden Indonesia 2014?



Indonesia Butuh Orang Kuat’
Berbagai jajak pendapat saat ini menunjukkan nama Prabowo cukup kuat di mata pemilih.
Memang jalan masih terjal, antara lain karena peraturan pemilihan mensyaratkan bahwa partai yang mengajukan nama calon harus memperoleh setidaknya 20 persen kursi DPR. Pada pemilu 2009, Gerindra hanya memperoleh 4,6 persen suara. Karena itu, agar Prabowo maju, Gerindra hampir pasti harus berkoalisi dengan partai-partai lain.
Namun itu bukan soal yang khas dialami Gerindra. Calon-calon lainpun menghadapi masalah serupa. Karena itu, bila popularitas Prabowo terus meningkat, sangat mungkin ia akan dipinang oleh partai-partai yang bersedia bergabung.
Saat ini berbagai jajak pendapat menunjukkan dukungan terhadap Prabowo sangat signifikan. Survei SSS menempatkan Prabowo sebagai capres terpopuler dengan angka 28 persen.
Seperti dikatakan analis politik Universitas Indonesia Nur Iman Subono, Prabowo memang punya banyak nilai jual. “Dia nampak sebagai pemimpin yang bisa tegas, tidak seperti presiden sebelumnya yang sama-sama jenderal tapi sering nampak ragu-ragu,” kata Nur Iman.
“ Dia juga berhasil membangun citra sebagai pemimpin yang pro ekonomi rakyat, nasionalis, bersih dari korupsi dan berani melawan para pemodal besar atau dominasi modal asing,” tambah Nur Iman.
Soal pencitraan ini memang terus digenjot oleh Prabowo dan Gerindra. Ia terlihat sebagai tokoh yang paling sering memanfaatkan hari-hari besar – dari hari Ibu, Natal, Idul Fitri, hari Pendidikan Nasional – untuk menyapa rakyat Indonesia melalui iklan-iklan televisi yang mampu menjangkau jutaan penonton. Rangkaian iklan itupun dirancang oleh perusahaan periklanan transnasional terkemuka.
Lebih dari itu, Prabowo juga membangun basis akar rumputnya dengan menjadi Ketua Umum organisasi-organisasi besar seperti Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) serta Asosiasi Pedagang Pasar di Seluruh Indonesia. Pada 2009 lalu, pencalonan Prabowo juga mendapat dukungan dari Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia.
Gerindra sendiri mengembangkan anakanak organisasi yang menjangkau berbagai segmen penduduk: kaum muda, perempuan, umat Islam, umat Kristen, dan lainnya. Prabowo serius mendidik para kadernya. Ia membangun kompleks pelatihan di lahan seluas 4,8 hektar di daerah Bukit Hambalang, untuk menggembleng kader-kader mudanya dengan gaya pendidikan militer.
Prabowo mengakui bahwa ia kepalang sudah mendapat brand image tertentu. “Kalau mendengar nama Prabowo, orang akan ingat tentara, lalu Komandan Kopassus, lalu kudeta,” ujarnya di acara SSS tersebut.
Namun nampaknya itu tidak diucapkannya dengan nada penyesalan. Faktanya, Prabowo memang berusaha membangun imej sebagai seorang pemimpin militer yang keras dan tegas.
Terakhir, kesan itu ia tampilkan saat diundang berceramah di Rajaratnam School of International Studies (RSIS) Nanyang Technological University, Singapura, Agustus lalu. Dalam ceramah di sekolah prestisius itu, Prabowo menyatakan bahwa Indonesia membutuhkan pemimpin yang ‘berani dan kuat’.
Pernyataan itu sempat menuai banyak tanggapan. Ketika Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto juga diundang bicara di tempat yang sama pada bulan Desember, ia dengan spesifik menyatakan bahwa Indonesia tidak membutuhkan “orang kuat yang mengintervensi dan mendominasi berbagai aspek kehidupan.”
“Indonesia,” kata Djoko, “membutuhkan pemerintahan efektif dengan civil society yang kuat…”




Masa Lalu yang Kelam
Perdebatan tentang ‘pemimpin yang kuat’ pada dasarnya adalah perbedaan perspektif.  Hanya saja bagi Prabowo dan Gerindra, sangat mungkin argumen ini penting dalam rangka menjustifikasi masa lalu Prabowo yang selalu terbuka untuk dipersoalkan di masa ini.
Terlepas dari segenap nial jualnya sekarang, sepanjang kampanye nanti kubu Prabowo memang harus selalu siap menjelaskan pertanyaan atau cercaan tentang apa yang pernah dilakukan sang jenderal.
Salah satu noda hitam dalam sejarah Prabowo yang akan terus menghantui karier politiknya adalah rangkaian penculikan para aktivis mahasiswa dan kelompok-kelompok pro demokrasi yang berlangsung di masa-masa menjelang jatuhnya Soeharto, yang sampai diselesaikan.
Rangkaian pencul ikan ini diketahui berlangsung setidaknya tiga tahap: menjelang pemilu Mei 1997, dua bulan menjelang sidang MPR pada Maret 1998, dan terakhir menjelang tumbangnya Soeharto pada Mei 1998.
Ketika itu Soeharto marah dengan gelombang perlawanan kelompok-kelompok pro demokrasi yang semakin berani dan menguat menentang kekuasaan sang raja. Tanpa terbayangkan olehnya, kepemimpinan otoriter yang ia kira sudah berhasil dibangun dengan kokoh dalam dua dekade, secara bertahap ditantang oleh berbagai kelompok masyarakat sipil.
Pertumbuhan perlawanan terhadap Soeharto ketika itu memang menggetarkan: dari pembentukan Aliansi Jurnalis Independen yang melawan pembredelan Tempo, tumbuhnya kekuatan Megawati di PDI yang di puncaki dengan kasus kerusuhan 27 Juli 1996 di markas PDI Jakarta, menguatnya suara- suara oposisi dengan para ikonnya (seperti Amien Rais di Muhammadiyah dan Abdurrahman Wahid di NU), Majelis Reboan, terbentuknya Forum Komunikasi Senat Mahasiswa se-Jakar ta , dukungan terhadap Timor Timur serta berkembangnya berbagai organisasi bentukan mahasiswa yang dicap radikal, seperti Partai Rakyat Demokratik (PRD) atau Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID).
Dalam konteks i tulah upaya untuk menghantam balik kekuatan pro demokrasi berusaha dilakukan sejak menjelang Pemilu 1997 yang mengantarkan Soeharto kembali menjadi Presiden untuk ke enam kalinya.
Buat rezim Orde Baru yang otoriter, modus menghilangkan orang memang bukan barang baru. Taktik menculik mahasiswa sudah dilakukan di masa-masa sebelumnya. Pada 1978, menjelang Sidang Umum MPR Kopkamtib melancarkan Operasi Kilat untuk menangkapi para aktivis dan ketua dewan mahasiswa, yang kemudian dilepaskan ketika suasana politik mereda.
Kali ini, penculikan bisa saja berulang tanpa persoalan, kalau saja peristiwa penggulingan Soeharto tak terjadi. Masalahnya, kali ini, sang raja jatuh dan semua kejahatan itu terpampang di muka umum.
Menurut Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) yang dibentuk di era Reformasi, dalam tiga aksi penculikan itu, 23 orang hilang atau sempat hilang dengan kondisi berbeda-beda. Ada sembilan orang yang dilepaskan penculik dan berbicara terbuka tentang nasib mereka selama penculikan. Tapi 13 orang lainnya dinyatakan hilang sampai sekarang sementara satu aktivis ditemukan meninggal (Leonardus Gilang).
Berdasarkan pengakuan para saksi, mereka disiksa para penculik. Itu terentang dari teror psikologis sampai teror fisik: dari dipukuli, disetrum (bahkan di bagian alat kelamin), ditelanjangi, dibenamkan ke dalam bak mandi, dibaringkan di atas balok es. Para korban juga bersaksi bahwa penculikan dilakukan dengan cara sistematis dan profesional. Selama diculik mereka terus diinterogasi tentang keterlibatan mereka dalam berbagai kegiatan anti pemerintah.
Sembilan aktivis yang dilepaskan adalah Desmond Junaidi Mahesa, Haryanto Taslam, Pius Lustrilanang, Faisol Reza, Rahardjo Waluya Jati, Nezar Patria, Aan Rusdianto, Mugianto dan Andi Arief. Mereka semua adalah korban dari penculikan menjelang dan sesudah Sidang MPR 1998 yang mengukuhkan Soeharto. Yang menghilang sebelum pemilu 1997 dan menjelang Mei 1998 tak pernah ditemukan dalam keadaan hidup.
Di mana peran Prabowo? Itulah salah satu hal yang tidak pernah tuntas dijelaskan.
Saat itu, Prabowo adalah pimpinan pasukan elit Kopassus (Komando Pasukan Khusus), sementara tim yang diketahui sebagai pelaku penculikan berdasarkan penyelidikan internal TNI adalah Tim Mawar yang merupakan tim kecil di dalam Kopassus.
Segera sesudah Soeharto jatuh, TNI memang melakukan serangkaian langkah: membentuk Dewan Kehormatan Perwira (DKP), penyelidikan kasus serta pada akhirnya Mahkamah Militer untuk mengadili para pelaku.
Kasus penculikan ini menyeret 11 anggota Tim Mawar ke pengadilan Mahmakah Militer pada April 1999. Tim itu terdiri dari seorang perwira menengah, Mayor Bambang Kristiono, yang memimpin sepuluh anggotanya – tujuh berpangkat kapten, tiga bintara.
Pengadilan memutuskan memecat dan menahan Komandan Tim Mawar , Mayor Bambang Kristiono, beserta empat anggota lainnya. Enam anggota Mawar lainnya dihukum penjara tapi tidak dikenai sanksi pemecatan sebagai anggota TNI.
Bagi banyak pihak, apa yang berlangsung di Mahkamah Militer itu jauh dari memuaskan. Para hakim misalnya begitu saja mempercayai pernyataan Bambang Kristiono bahwa penculikan itu dilakukan atas inisiatifnya sebagai komandan Tim Mawar yang terpanggil hati nuraninya melihat kelakuan para aktivis yang menurut penilaiannya bisa membahayakan kepentingan nasional.
Menurut Bambang, penculikan ia lakukan dalam rangka mendata aktivis radikal. Ia tak pernah menjelaskan siapa yang memberi perintah awal penculikan, apalagi penyiksaan.
Dengan menerima pengakuan Bambang, pengadilan tidak mengusut lebih jauh keterlibatan perwira lebih tinggi. Pengadilan juga tidak memeriksa tuduhan terjadinya penyiksaan dan penganiayaan terhadap korban penculikan, apalagi mempersoalkan 13 nama yang masih hilang. Tim Mawar, dengan kata lain, hanya bertanggungjawab atas menghilangnya sembilan aktivis yang diculik menjelang SU MPR 1998, tapi tidak yang lain.
Mahkamah Militer, dalam hal ini, tidak pernah mengeluarkan kesimpulan terkait Prabowo. Yang menyatakan Prabowo bertanggungjawab adalah Dewan Kehomatan Perwira – yang antara lain dianggotai Susilo Bambang Yudhoyono –yang pada Agustus 1998 mengeluarkan kesimpulan bahwa Prabowo bersalah dalam kasus penculikan yang dilakukan Tim Mawar.
DKP menyatakan bahwa Prabowo telah salah menafsirkan perintah dan direkomendasikan untuk dikenakan sanksi atau dihadapkan ke pengadilan militer. Sejarah mencatat, Prabowo rekomendasi itulah, Panglima ABRI Wiranto memutuskan memberhentikan Prabowo dari dinas kemiliterannya.
Prabowo sendiri mengakui bahwa apa yang dilakukan Tim Mawar ada di bawah tanggungjawabnya. Namun ia menyangkal bahwa perintah datang atas inisiatifnya dan ia sekadar melakukan perintah atasan. Ia juga menyatakan tak tahu menahu dengan perkara orang-orang hilang di luar sembilan aktivis yang akhirnya dikembalikan.
Menurut Prabowo, ia mengaku bersalah karena tidak berhati-hati dan percaya saja dengan laporan mereka yang ditugaskan menjalankan operasi serta tidak pernah mengunjungi sel-sel di mana para korban ditahan. Menurutnya, ia tidak pernah memerintahkan penyiksaan. Sampai saat ini, ia tidak pernah mau mengungkapkan secara terbuka siapa atasan yang memerintahkan ia melakukan penculikan.
Baik Mahkamah Militer maupun temuan DKP memang menyisakan banyak pertanyaan. Karena itulah, rangkaian penculikan tersebut tetap menjadi agenda yang hidup sampai saat ini.
Antara Oktober 2005 sampai Oktober 2006, Komnas HAM melakukan penyelidikan kembali yang melahirkan rekomendasi kepada Kejaksaan Agung untuk membentuk tim penyidik. Dalam rekomendasi itu dikatakan, telah didapat bukti permulaan yang cukup untuk menyimpulkan terjadinya pelanggaran HAM berat dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam kasus pengilangan secara paksa itu.
Tiga tahun kemudian, pada September 2009, Panitia Khusus Penghilangan Orang secara Paksa (pansus Orang Hilang) di DPR memberi rekomendasi pada presiden untuk membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc tentang penculikan aktivis 1997/1998. Pansus juga merekomendasikan agar pemerintah kembali menyelidiki hilangnya 13 aktivis yang sampai saat ini memang tak pernah ditemukan.
Namun sampai saat ini, baik rekomendasi Komnas HAM maupun rekomendasi Pansus DPR tak pernah ditindaklanjuti. Pada Mei 2011, kementerian Polhukam memang pernah membentuk tim untuk menuntaskan kasuskasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Tapi belakangan, kiprah tim ini tak pernah terdengar.
Segenap ketidakpastian ini tentu saja menyebabkan banyak pihak percaya bahwa apa yang terjadi merupakan bagian dari sebuah kotak pandora: aksi besar yang melibatkan banyak pihak yang mungkin sampai saat ini masih berada di lingkar kekuasaan.
Soal Bambang Kristiono misalnya, ia dan kawan-kawannya diduga memang sengaja ‘pasang badan’ bersedia dipersalahkan dengan jaminan bahwa apa yang mereka lakukan terhadap 13 aktivis yang hilang – dan kemungkinan besar sudah tewas dibunuh - tidak dikutak-katik dalam pengadilan. Karena itulah, Bambang dan kawankawan hanya dihukum karena ‘menghilangkan kemerdekaan’, bukan penculikan apalagi penyiksaan dan pembunuhan.
Prabowo tidak disidik lebih jauh karena bila dilakukan, diduga itu akan membawa nama-nama besar lainnya yang seharusnya juga bertanggungjawab, seperti Jenderal Feisal Tanjung yang ketika itu menjabat sebagai Panglima ABRI dan Jenderal Hartono yang ketika itu menjabat sebagai KSAD.
Karena itulah pemberhentiannya adalah sebuah jalan keluar yang paling bisa diterima. Prabowo sendiri menerima pemberhentiannya karena mengaku bersalah. Ia kemudian pindah ke Yordania, menjadi pengusaha di sana, sebelum bertahun kemudian baru kembali ke Indonesia.
Sebagai catatan, para prajurit yang semula dipecat berhasil naik banding sehingga mereka tetap bisa menjalankan karier kemiliteran mereka. Beberapa di antara mereka bahkan menjadi Dandim di berbagai daerah. Yang benar-benar dipecat hanya Bambang. Yang lain terbebas dari hukum pemecatan dan hukuman penjaranya pun dikurangi.




Korban Penculikan pun Bergabung dengan Gerindra
Seiring berjalannya waktu memang banyak hal terjadi. Hampir semua korban penculikan yang selamat kemudian bergabung dengan partaipartai politik yang ada atau bahkan menjadi kalangan yang berada dalam lingkaran kekuasaan.
Hanya dua yang masih menjadi aktivis murni. Nezar Patria adalah jurnalis yang menjadi Ketua Aliansi Jurnalis Independen dan sekarang menjadi anggota Dewan Pers. Mugiyanto tetap aktif memperjuangkan kepastian nasib mereka yang diculik sebagai Ketua Ikatan keluarga Orang Hilang (IKOHI).
Yang lain, sibuk meniti karier politiknya. Andi Arief menjadi staf khusus Presiden. Faisol Reza dan Aan Rusdianto bergabung ke PKB dan menjadi penasehat Menakertrans Muhaimin Iskandar. Rahardjo Waluya Jati bergabung ke PDI-P.
Namun yang terpenting adalah tiga di antara para aktivis terculik itu kini bergabung dengan partainya Prabowo, Gerindra. Desmond menjadi Ketua DPP bidang kaderisasi dan menjadi anggota parlemen. Pius juga menjadi anggota DPR dari Gerindra. Haryanto Taslam menjabat  sebagai Wakil Ketua Dewan Penasehat partai tersebut.
Apa yang terjadi dengan para korban itu?
Tak mudah untuk menjelaskannya. Bagaimanapun, nampaknya kebanyakan dari para korban itu memang tak menganggap Prabowo sebagai pihak tertuduh utama.
Andi Arief, bahkan dalam sebuah wawancara di majalah D&R pada 1998, menanggapi pemeriksaan yang dilakukan DKP, sudah menyatakan bahwa seharusnya bukan hanya Prabowo yang disalahkan. “Betul ia terlibat, tapi tak mungkin sendiri,” kata Andi. Ia menduga perintah penculikan datang dari panglima tertinggi ABRI.
Surat elektronik Pius yang beredar di dunia maya mungkin juga bisa menjelaskan sikap mereka. Pius bergabung dengan Gerindra dan itu dilakukannya, katanya di surat itu, demi demokrasi.
Pius menganggap Prabowo hanya menjadi korban dari pelaksanaan sebuah doktrin dan ia telah membayar kesalahan-kesalahannya. “Saya di satu sisi. Dan Prabowo beserta Tim Mawar di sisi yang lain,” tulisnya “pernah bertempur bersimbah darah membela keyakinan masing-masing.”
Namun kini, menurut Pius, mereka berada pada titik yang sama dalam setting politik yang berbeda dengan apa yang terjadi pada 1998.
Pius menganggap Prabowo telah membayar kesalahannya, “dengan kehilangan jabatan strategis sebagai Pangkostrad dan cita-citanya untuk memperoleh posisi tertinggi dalam karier militernya.”
Bagi Pius, yang salah adalah rezim Soeharto, bukan Prabowo semata. Tulisnya:
“Saya tetap dengan keyakinan saya, sama seperti dulu bahwa Soeharto adalah penghalang bagi demokratisasi. Ketika Soeharto lengser seluruh tatanan ORBA pun runtuh ibarat kartu domino. Kasus penghilangan orang adalah sebuah kejahatan rezim (Soeharto) bukan tindakan koboi para petinggi militer. Jika ada yang salah maka yang salah adalah doktrin. Kesalahan doktrin adalah kesalahan institusi. Kalaupun Prabowo harus dihukum, dia telah menjalani hukuman itu.”
Dia kemudian bahkan mengungkapkan kekagumannya pada sang jenderal:
“Terus terang saya sekarang mengagumi mantan musuh saya. Setelah kalah dan dikorbankan, Prabowo memilih mengasingkan diri keluar negeri. Dia sempat menjadi kambing hitam dari berbagai kerusuhan dan aksi teror. Tapi sejarah membuktikan bahwa dia tidak terlibat. Dia kembali dari pengasingannya dan memulai dari bawah lagi sebagai pengusaha dan memimpin sejumlah Ormas.”
Di bagian akhir suratnya, Pius menjelaskan mengapa ia kini bergabung dengan Gerindra:
”Ya, saya dan Prabowo sekarang berada dalam perahu yang sama: Gerindra. Kami berdua sepakat bahwa kami harus mempertahankan sistem demokrasi. Tapi kami punya tanggung jawab bersama: sistem demokrasi harus mendatangkan kesejahteraan untuk rakyat. “
Haryanto Taslam, yang sebagaimana Pius bergabung dengan Gerindra, memberikan penjelasan serupa. Katanya di media: ”Prabowo sudah minta maaf pada saya. Dia juga mengajak saya bergabung untuk membangun negara ini. Saya adalah korban Prabowo dan Prabowo adalah korban politik saat itu. Dia juga korban. Prabowo hanya merupakan tentara yang mematuhi perintah atasannya. Ide penculikan bukan dari Prabowo. Rezim Orde Baru saat itu pun represif. Jika bukan Prabowo pasti orang lain yang akan diperintah untuk menculik.”
Sampai saat ini, episode orang hilang tersebut tak pernah diselesaikan dengan memuaskan.
Halnya Prabowo, keterlibatannya tak terbantahkan. Mungkin dia bukan otak di belakang teror tersebut, mungkin ini juga melibatkan banyak petinggi militer lainnya, mungkin Prabowo hanya menjalankan perintah atasan, tapi hampir pasti ia terlibat. DKP membuktikannya, korban penculikan membenarkannya , ia sendiri mengakuinya.
Namun pertanyaannya yang tak ter jawab adalah dalam hal apa ia terlibat. Apakah ia hanya terlibat dalam penculikan, atau juga dalam hal penyiksaan yang tidak berperikemanusiaan? Atau yang lebih penting lagi, apakah ia terlibat dalam penghilangan orang-orang yang sampai saat ini tak pernah bisa ditemukan, dan kemungkinan besar sudah tewas?




Kontroversi
Bagaimanapun, urusan culik-menculik ini bisa jadi bukan hal baru bagi Prabowo. Dirunut ke belakang, pada 1983, Prabowo – saat masih berusia 32 tahun, berpangkat Kapten – pernah dikabarkan akan menculik sejumlah perwira tinggi, termasuk LB Moerdani. Cerita itu dimuat di buku memoar Sintong Panjaitan, “Perjalanan Seorang Prajurit Parakomando” (Kompas, 2009).
Ketika itu Prabowo masih berposisi sebagai Wakil Komandan Detasemen 81/Antiteror ( yang merupakan semacam satuan elit antiteror), sementara Benny adalah Asisten Intelijen Hankam/Kepala Pusat Intelijen Strategis/Asisten Intelijen Kopkamtib. Prabowo baru saja pulang dari Timor Timur dengan segenap keberhasilan operasi militernya, dan menjelang akan menikahi Titiek Soeharto.
Semula Prabowo adalah pendukung Benny yang memang sedang digadang-gadang akan menjadi Menhankam/Panglima ABRI. Namun, menurut Sintong, karena Prabowo curiga Benny akan melakukan kudeta setelah ia memasukkan pasokan senjata - yang belakangan diketahui sebenarnya akan disalurkan untuk membantu pasukan Mujahidin di Afghanistan—Prabowo percaya bahwa Presiden Soehar to harus diselamatkan dari manuver Benny. Bahkan semula ada sejumlah nama besar lain yang kabarnya akan diciduk atas perintah Prabowo, termasuk Sudharmono, Ginanjar Kartasasmita dan Moerdiono.
Rencana penculikan itu akhirnya gagal dijalankan karena tak ada satupun dukungan signifikan diperoleh Prabowo. Luhut Pandjaitan yang menjadi atasan Prabowo menolak mengikuti saran Prabowo untuk menggerakkan pasukan. Jenderal M. Jusuf yang ketika itu adalah Menhankam/Panglima ABRI juga mengabaikan kecurigaan Prabowo. Luhut sendiri menganggap bahwa Prabowo ketika itu ‘stress berat’.
Bagaimanapun ada versi lain tentang konflik Prabowo dan Benny. Dalam versi ini, karena kedekatannya dengan Benny, Prabowo menjadi tahu tentang agenda Benny – yang sedang harum namanya antara lain setelah sukses menumpas kelompok teroris berbendera Islam yang membajak pesawat Woyla – untuk menghabisi kelompok-kelompok Islam dan berencana menggantikan Soeharto yang ketika itu sudah memimpin Indonesia selama 15 tahun. Prabowo berusaha mencegah itu dengan berencana menculik Benny.
Benny sendiri tidak terlalu curiga dengan Prabowo bisa jadi karena latar belakang Prabowo adalah sekuler tulen. Ayah Prabowo adalah seorang sosialis, ibunya penganut Kristen dari Manado.
Sejarah menunjukkan Benny kemudian tetap menjadi Panglima ABRI, namun hubungannya dengan Soeharto terus memburuk. Pada 1988, Benny akhirnya diganti oleh Try Soetrisno. Meskipun Benny tetap diberi jabatan sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan, semua orang tahu Benny sudah habis. Karier Prabowo, sebaliknya, terus melaju.
Mana versi yang benar, itu tetap menunjukkan bahwa Prabowo memang tak asing dengan operasi-operasi militer di luar jalur konstitusional.
Dihitung-hitung, kecenderungan ini bisa dipahami mengingat Prabowo bisa dikatakan memang dibesarkan dalam medan militer tidak dalam suasana damai. Bagaimanapun ia adalah seorang komandan dari pasukan elit Indonesia yang terkenal efektif. Kariernya sendiri dimulai dengan keberhasilannya di Timor Timur ketika – sebagai Kapten – memimpin pasukan Den 28 Kopassus yang membunuh pendiri Fretilin, Nicolau dos Reis Lobato.
Sebagai tentara, reputasi Prabowo memang sangat harum. Bahkan ketika mengikuti pelatihan Special Forces Officer Courses di Fort Benning, AS, ia banyak dipuji para pelatih Amerika.
Menurut Nur Iman Subono, pengalaman semacam itu memang punya jebakan tersendiri. Secara psikologis, Prabowo adalah tipe pemimpin yang sangat percaya diri bahwa ia pintar, hebat dan benar. “Sikap semacam ini bisa membuat dia merasa dapat melakukan apapun selama ia merasa dirinya benar,” kata Nur Iman. “Yang penting baginya adalah menyelesaikan tugas sebaik-baiknya.”
Karena itulah tindakan-tindakannya bisa kontroversial.
Ketika menjadi Wakil Komandan Kopassus yang beroperasi di Timor Timur saat daerah itu bergejolak pada 1995, Prabowo dikabarkan menggerakkan pasukan ilegal berpakaian ninja di luar kesatuan TNI yang melancarkan teror ke warga sipil dalam rangka melawan kelompok gerilyawan Xanana Gusmao. Pembentukan kelompok paramiliter itu bertujuan untuk membangun kesan bahwa aksi tersebut bukan dilakukan oleh militer sehingga TNI tidak dituduh membunuh rakyatnya sendiri oleh masyarakat internasional.
Cerita keberadaan pasukan sipil di luar TNI ini antara lain diakui oleh Kiki Syahnakri, Komandan Korem Timor Timur pada 1995, dalam buku ‘The Untold Story’. Kiki diketahui memang terlibat konflik dengan Prabowo akibat perbedaan pandangan mereka tentang pasukan paramiliter itu.
Prabowo sendiri mengakui bahwa ia memfasilitasi pembentukan pasukan yang terdiri dari kalangan pendukung pro-integrasi, tetapi ia membantah bahwa pasukan paramiliter itu membunuhi masyarakat sipil.




Mei 1998
Rangkaian peristiwa terakhir yang menghancurkan karier Prabowo tentu saja adalah hari-hari berdarah menjelang dan seusai jatuhnya Soeharto pada Mei 1998.
Prabowo menjadi tertuduh untuk dua hal.
Pertama, ia dituduh mendalangi kerusuhan Mei dengan tujuan untuk mendiskreditkan Panglima TNI Wiranto sehingga Soeharto akan memberikan kepercayaan padanya untuk memadamkan kerusuhan dan mengangkatnya sebagai Panglima baru.
Kedua, seusai kejatuhan Soeharto, Prabowo dituduh akan melakukan kudeta dengan menggerakkan tentara ke Jakarta dan mengepung kediaman Habibie – yang baru saja diangkat menjadi presiden – untuk mengambil alih kekuasaan.
Kedua tuduhan itu sebenarnya tidak pernah bisa dibuktikan.
Pada Oktober 1998, Habibie membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) beranggotakan 18 orang untuk mempelajari apa yang terjadi dalam huru-hara Mei 1998 itu. Di awal, TGPF sempat berusaha menyelidiki peran Prabowo. Namun penyelidikan itu tak pernah tiba pada kesimpulan yang cukup meyakinkan tentang peran Prabowo.
Tuduhan Prabowo sebagai dalang nampaknya memang sangat spekulatif. Ketika itu Prabowo baru saja menempati jabatan barunya sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis AS (Pangkostrad). Seperti dikatakan Prabowo kemudian, tak ada manfaat yang bisa ia peroleh dengan mengadakan kerusuhan.
Sebagaimana sejarah mencatat, kerusuhan tersebut memang hampir pasti melibatkan konflik internal ABRI. Kerusuhan bisa berlangsung dalam skala yang sangat luas selama beberapa hari antara lain karena minimnya pasukan pengamanan yang diturunkan. Dan itu bukan tanggung jawab Prabowo yang tidak memiliki wewenang komando operasional.
Ketua TGPF Marzuki Darusman sendiri menyatakan: “Saya kira masalahnya bukan sekadar Prabowo. Prabowo telah diadili oleh opini publik dan dinyatakan bersalah.”
Namun terkait dengan tuduhan kedua, sebagaimana kini terungkap dalam pernyataan Prabowo di Four Seasons, memang sangat mungkin Prabowo berpikir untuk mengambil alih kekuasaan setelah Soeharto jatuh.
Dalam cerita ini, pada 22 Mei – sehari sesudah Soeharto jatuh dan Habibie naik menjadi presiden – Panglima ABRI Wiranto melapor pada Habibie bahwa telah terjadi pergerakan pasukan Kostrad ke Jakarta dan juga terdapat konsentrasi pasukan di bawah komando Prabowo di sekitar kediaman Habibie, keduanya tanpa sepengetahuannya. Itu yang kemudian dianggap sebagai indikasi awal akan adanya kudeta.
Ini mencemaskan karena Prabowo membawahi pasukan beranggotakan 11 ribu orang, yang 90 persen diantaranya berada di Jakarta.
Dengan cepat Habibie mengambil keputusan dan meminta Wiranto memberhentikan Prabowo sebagai Pangkostrad, agar panglima baru dapat menarik kembali seluruh pasukan ke luar Jakarta. Pos baru Prabowo adalah Komandan Sesko ABRI di Lembang, Bandung.
Ketika mengetahui kabar pemberhentiannya, Prabowo dan 12 pengawalnya langsung bergerak ke istana untuk bertemu Habibie. Pertemuan berlangsung tegang karena Prabowo merasa dihinakan dengan keputusan itu. Namun Habibie tetap pada pendiriannya. Jabatan Pangkostrad diserahkan kepada Mayjen TNI Johnny Lumintang.
Dalam kasus ini, Prabowo berulangkali menyatakan bahwa ia menjadi korban pemfitnahan beberapa kali. Ia difitnah menjadi dalang kerusuhan. Ia difitnah dengan sengaja mengkhianati Soeharto menjelang kejatuhan sang presiden sehingga hubungannya dengan istrinya (Titiek Soeharto) dan anak-anak Soeharto yang lain memburuk. Terakhir ia difitnah sehingga orang yang ia percayai selama ini – Habibie – memilih untuk menyingkirkannya.
Tentang konsentrasi pasukan, Prabowo berdalih bahwa itu semua dilakukan di bawah koordinasi Pangdam Jaya. Prabowo bahkan menyatakan bahwa pengamanan kediaman presiden dan wakil presiden dilakukan atas instruksi Wiranto.
Sebagaimana dalam banyak kasus lainnya, soal kebenaran cerita kudeta ini sampai sekarang tak pernah terselesaikan secara tuntas. Habibie tetap kukuh pada penjelasan yang menurutnya ia peroleh dari Wiranto sementara Prabowo juga berkeras dengan bantahannya.
Yang menarik, adalah Wiranto yang belakangan menyatakan bahwa Habibie mungkin salah mengerti laporan yang diberikannya soal pemusatan pasukan Prabowo, sehingga terlalu jauh mengira bahwa Prabowo akan melakukan kudeta. Menurut Wiranto, ketika ia melaporkan soal konsolidasi kekuatan, itu dimaksudkannya sebagai penjelasan tentang kesiapan militer melindungi Habibie.
Pertanyaan yang menggantung adalah, bila itu yang terjadi, mengapa Wiranto begitu saja mengiyakan permintaan Habibie untuk memberhentikan Prabowo sebagai Pangkostrad, sementara ia tahu bahwa hubungan antar kedua orang itu sebelumnya sangat erat?
Dengan demikian, apa yang sesungguhnya terjadi antara Habibie-Prabowo-Wiranto pada 22 Mei 1998 itu sampai sekarang tetap merupakan penggalan sejarah yang belum dibersihkan kebenarannya.
Lalu, kembali ke pernyataan Prabowo di Four Seasons, mengapa Prabowo sekarang mengatakan bahwa pada Mei 1998, ia menyesal tak jadi melakukan kudeta? Apakah itu berarti ia memang semula berencana berkudeta?
Mengingat track record nya di masa lalu, Prabowo memang selalu mungkin melakukan tindakan sejenis itu. Namun, mungkin juga, yang ia maksudkan adalah, bahwa kalau saja ketika itu ia melawan dengan mengerahkan pasukannya, sejarah mungkin akan menjadi lain.
Prabowo sendiri berkisah, seusai bertemu Habibie, ia sempat bertemu dengan perwira-perwira yang mendukungnya. Mereka bersama-sama mengajak Prabowo untuk ‘menyikat’ Habibie. Permintaan itu ditolak Prabowo – dan mungkin itu yang ia rujuk dalam pidatonya di Jakarta pada Desember 2012.



Prabowo sebagai Presiden
Rangkaian episode di atas tentu akan menjadi catatan kelam yang terus menggayuti perjalanan politik Prabowo saat ini.
Pada 2000, pemerintah Amerika Serikat bahkan menyatakan tidak akan mengizinkan Prabowo masuk ke negara itu atas dasar Konvensi PBB tentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan (United Nations Convention against Torture and other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment).
Pertanyaannya: apakah ini akan mempengaruhi sikap para pemilih terhadap Prabowo dalam pemilu nanti?
Survei LSI terhadap para pemuka pendapat menunjukkan bahwa track record itu berpengaruh. Para responden yang terpilih memberikan skor relatif rendah kepada Prabowo dalam peringkat calon presiden berkualitas. Salah satu elemen yang mempengaruhi rendahnya skor tersebut adalah reputasi Prabowo dalam hal pelanggaran HAM.
Namun di kalangan awam, hal berbeda mungkin ditemukan. Redaksi Indonesia 2014 mewawancarai sepuluh anggota masyarakat tentang Prabowo, dan sikap mereka terbelah. Bahkan sebagian mahasiwa pun menganggap Prabowo sebagai pemimpin masa depan (Lihat ‘Apa kata mereka tentang Prabowo).
Buat pengamat politik UI, Nur Iman Subono, kenyataan ini tak mengejutkan. Masyarakat Indonesia, menurutnya, sering lupa lupa dengan sejarah dan pada dasarnya pemaaf. “Karena itu soal cacatan hitam sejarah Prabowo dengan mudah diabaikan, apalagi oleh anak muda yang tidak pernah merasakan kekejaman Orde Baru.”
Mereka yang tahu sepak terjang Prabowo, tambahnya, sebagian akan mengatakan bahwa Prabowo sudah membayar dosa-dosanya dengan diberhentikan dari karier militernya. “Apalagi ada dalih bahwa Prabowo sebenarnya melakukan itu semua karena posisi dia sebagai pimpinan militer yang harus mengamankan kondisi politik saat itu. Jadi sangat kontekstual.”
Karena itu, persoalan catatan kelam Prabowo bisa jadi akan dikalahkan dengan harapan masyarakat akan hadirnya seorang pemimpin yang tegas – karakter yang melekat pada Prabowo.
Menurut Nur Iman, masyarakat kecewa dengan para pemimpin sepanjang reformasi yang dianggap lunak dan tak berani bersikap tegas, termasuk Jenderal SBY yang dianggap ragu-ragu dan Presiden ‘wong cilik’ Megawati.
“Perang melawan korupsi atau perang melawan penjarahan kekayaan Indonesia oleh perusahaan-perusahaan asing dianggap terhambat karena pimpinan nasional tidak berani memimpin dengan gaya Soekarno”, ujar Nur Iman.
Dibandingkan semua kandidat lainnya, Prabowo yang paling jelas menampilkan citra populisnya. “Dia menyerukan akan merebut kembali aset-aset negara dari asing. Dia akan memberikan tanah pada rakyat. Soal bagaimana caranya, orang tak terlalu peduli,” tambahnya.
Bila benar begitu, barangkali bisa dipahami bahwa kubu pendukung Prabowo akan terus membangun sebuah brand pemimpin yang keras, tegas, mungkin otoriter, tapi yang jelas akan menyelamatkan rakyat Indonesia.
Urusan Hak Asasi Manusia? Mungkin cuma akan jadi catatan masa lalu.
Catatan: Untuk penulisan artikel ini, redaksi Indonesia 2014 gagal mewawancarai Prabowo, Nezar Patria (korban penculikan 1998) dan Mugiyanto (korban penculikan). Mereka semua menolak diwawancarai. Seorang narasumber lain hanya mau menyampaikan pendapatnya secara ‘off-the-record’, dengan alasan “Nanti saya didatangi orang-orangnya Prabowo lagi”
Korban penculikan yang bersedia diwawancara adalah Raharja Waluya Jati.






 
Design by Jery Tampubolon | Bloggerized by Jery - Rhainhart Tampubolon | Indonesian Humanis